ALAMAT : KANTOR PUSAT & ASRAMA PUTRI 1 JL. MERBABU NO 26 KODE POS 63121 TLP. 0351-453920, ASRAMA PUTRI 2 JL. JOIRANAN NO 25, ASRAMA PUTRA JL. TRENGULI NO 18B, rintisan mbs hamka jl poncowati demangan kota madiun
Home » » Sejarah Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Sejarah Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Desember 01, 2014 | 11.11

Muqadimah 

Tarjih berasal dari kata "rajjaha-yurajjihu-tarjihan", yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya."

Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai "Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah" adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.

Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".

Oleh karenanya, idealnya nama Majelis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majelis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majelis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.

 SEJARAH BERDIRINYA MAJELIS TARJIH 

Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang dihadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355 (1936) hal 145: 
" ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-sebabnja banjak, diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an, perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah.

Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan hadits."

Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majelis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu:

1.      KH. Mas Mansur
2.      Ki Bagus Hadikusuma
3.      KH. Ahmad Badawi
4.      Krt. KH. Wardan Diponingrat
5.      KH. Azhar Basyir
6.      Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7.      Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8.      Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )

KEDUDUKAN DAN TUGAS MAJELIS TARJIH 

Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majelis Tarjih ini merupakan “Think Thank"-nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah "processor" pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.

Adapun tugas-tugas Majelis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majelis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4, adalah sebagai berikut:

1.      Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2.      Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3.      Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4.      Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
5.      Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Menurut Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh. Sedangkan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik, sosial-budaya, hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya).

MANHAJ TARJIH 

Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji "Mabadi’ Khomsah" (Masalah Lima) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan, perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselenggarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta.

1. Masalah Lima tersebut meliputi :

a.          Pengertian Agama (Islam) atau al- Din , yaitu :

b.         " Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.

c.          Pengertian Dunia (al- Dunya ):

d.         " Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rasulullah saw : " Kamu lebih mengerti urusan duniamu " ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )

e.          Pengertian al- Ibadah, ialah:

f.          " Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, dengan jalan mentaati segala perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah SWT. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah dan ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah SWT akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.

g.         Pengertian Sabilillah, ialah :

h.         "Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloan Allah SWT, berupa segala amalan yang diijinkan Allah SWT untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya”


i.           Pengertian Qiyas, (Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaan-nya).

j.           Karena Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majelis Tarjih terus  berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Kemudian pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majelis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.

2. Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih secara singkat adalah sbb :

a.       Di dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al- Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima Ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. (Majelis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal (umum) atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya, kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang ditaklukkan seperti tanah Iraq, Iran, Syam, dan Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan "Kharaj" dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin, dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks al-Quran maupun al-Hadist, diantaranya : mengqiyaskan zakat tebu, kelapa, lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras, dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak (7,5 kwintal) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dan lain-lain.

b.      Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota Majelis, tidak dipandang kuat. (Seperti pendapat salah satu anggota Majelis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayah al- Hukmi )

c.       Tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, akan tetapi pendapat-pendapat mazhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. (Seperti halnya ketika Majelis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin al- Syahr di dalam menggunakan hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat dengan suatu mazhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada al-Qur’an dan al-Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk mazhab sendiri, yang disebut "Mazhab Muhammadiyah", ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih).

d.      Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan ini diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil serta koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekhawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah, dll)

e.       Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929.

f.       Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua, pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan al-Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua: pertama : ijma’ sahabat. Ijma’ sahabat ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat).

g.      Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara "al jam’u wa al taufiq". Jikalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih. Kalau tarjih pun tidak bisa dilakukan, maka langkah penyelesaian selanjutnya adalah dengan naskh, yaitu melacak keduanya dengan menetapkan bahwa yang muncul lebih dahulu (mansukh) telah berakhir masa berlakunya, sedangkan yang muncul belakangan (nasikh) tetap diberlakukan. Kalau dengan cara yang ketiga inipun belum bisa menyelesaikan, maka jalan terakhir adalah masalah tersebut ditawaqqufkan yakni dihentikan penelitian terhadap dalil tersebut dan mencari dalil baru (Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah: Pertama: Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil, Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum, seperti: menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti: menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima: Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.

h.      Menggunakan asas "saddu al-darai’" untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah (kerusakan). (Saddu al dzarai’ adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibatkan kepada hal-hal yang dilarang. Seperti: Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena kekhawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan menyebabkan fitnah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar Tarjih di Malang 1989.

i.        Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah. Adapun qaidah: "al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman" dalam hal-hal tertentu, dapat berlaku. (Ta’lil Nash adalah memahami nash al-Qur’an dan al-Hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid al-Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majelis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari fitnah).

j.        Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara konprehensif, utuh dan bulat serta tidak terpisah. (Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang bernyawa, jika dimaksudkan untuk disembah atau dikhawatirkan akan menyebabkan kesyirikan).

k.      Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )

l.        Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip "Taisir" (Diantara contohnya adalah: dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat)

m.    Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur’an dan al-Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. (Contohnya, adalah ketika Majelis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan Syawal).

n.      Dalam hal-hal yang termasuk "al umur al dunyawiyah" yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.

o.      Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.

p.      Dalam memahani nash, makna zahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. (Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah swt, seperti Allah bersemayam di atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam,  dll)

 PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN MAJELIS TARJIH

Sebagaimana diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang bergerak untuk tajdid atau pembaharuan, maka Majelis Tarjih, yang merupakan bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat kaku dan kolot, akan tetapi keputusan-keputusan Majelis Tarjih masih ada kemungkinan mengalami perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan Majelis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majelis Tarjih adalah :

1.      Perubahan nama "Majelis Tarjih". Karena mengingat, semakin banyak dan kompleknya problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada puluhan tahun akhir ini. Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus dijawab oleh Majelis Tarjih. Disamping itu karena nama Tarjih, masih identik dengan masalah-masalah fiqh, maka nama Majelis Tarjih perlu di tambah dengan sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi "Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam". Penambahan ini diputuskan pada tahun 1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh. Pada muktamar tahun 2005 nama majelis ini berubah lagi menjadi “Majelis Tarjih dan Tajdid” yang tetap berlaku sampai sekarang.

2.      Penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majelis Tarjih (Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi) dengan ditambah tiga pendekatan baru, yaitu Pendekatan "Bayani", "Burhani", dan "Irfani". Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003.

3.      Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS (Musyawarah Nasional) Tarjih.

4.      Perampingan anggota Majelis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majelis Tarjih. Pada awalnya muktamar-muktamar atau musyawarah-musyawarah Majelis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003 dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majelis Tarjih yang berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil, mengingat kurang efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini, khususnya ketika diganti namanya dengan MUNAS (Musyawarah Nasional). Walaupun sampai saat ini, keputusan tersebut belum di-tanfid-kan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi perjalanan Majelis Tarjih pada masa-masa mendatang.

5.      Perubahan keputusan-keputusan tarjih yang dirasa kurang sesuai lagi, seperti pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahmad Dahlan, pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah, pencabutan keputusan tentang larangan perempuan ikut berdemonstrasi dan lain-lain. Ini dikuatkan juga dengan adanya komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih, pada MUNAS Tarjih di Padang, Oktober 2003.

  PENUTUP

Perjalan Majelis Tarjih selama 84 tahun, memang penuh dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan, penyempurnaan, serta pengembangan Majelis tarjih ini sangat mutlak diperlukan, guna memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.

Demikian tulisan singkat tentang Majelis Tarjih ini, mudah-mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi kader-kader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan pemikiran dalam persyarikatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, (Jokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )

Achmad Jainuri, Model Tajdid Muhammadiyah: Membangun Peradaban Utama (Makalah), Malang, 2010.

M. Amin Abdullah, Paradigma Tajdid Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Modernis-Reformis (Makalah), Jakarta, 2010.

Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, (Jogyakarta: BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I)

H.M. Djaldan Badawi, 95 tahun langkah perjuangan Muhammadiyah, Himpunan Keputusan Muktamar, Lembaga pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.

Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995)

Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002)

Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas Yarsi 1999)

Majelis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)  

An-Najah, Ahmad Zain, Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab, dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang: MTPPI PP Muhammadiyah , 2003)

———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap Hadist Ahad, (Makalah, 2004)

Peacock, James L., Gerakan Muhammadiyah memurnikan ajaran Islam di Indonesia, (Jakarta: Cipta kreatif,  1986.)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih, (Jokyakarta: PP. Muhammadiyah Cet. III) .

Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah. (Padang: MTPPI PP Muhammadiyah , 2003)

Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh,Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang)

Keputusan Munas Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam

Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 2010-2011
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | admin | Mas Template
Copyright © 2011. Panti-Asuhan-Muhammadiyah-Madiun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by admin wabsite PA Ponpes Muhammadiyah Madiun