Muqadimah
Tarjih berasal dari kata "rajjaha-yurajjihu-tarjihan", yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya."
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai "Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah" adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".
Oleh karenanya, idealnya nama Majelis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majelis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majelis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
KEDUDUKAN DAN TUGAS MAJELIS TARJIH
Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majelis Tarjih ini merupakan “Think Thank"-nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah "processor" pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun tugas-tugas Majelis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majelis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4, adalah sebagai berikut:
Menurut Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh. Sedangkan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik, sosial-budaya, hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya).
PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN MAJELIS TARJIH
PENUTUP
Tarjih berasal dari kata "rajjaha-yurajjihu-tarjihan", yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah: Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya."
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai "Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah" adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majelis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep Tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul (ucapan) ulama mengenainya". Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama "Ijtihad".
Oleh karenanya, idealnya nama Majelis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majelis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majelis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
SEJARAH
BERDIRINYA MAJELIS TARJIH
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang dihadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini, tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majelis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang dihadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya perpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majelis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah
Suara Muhammadiyah no.6/1355 (1936) hal 145:
" ….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama
sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah: sebab-sebabnja
banjak, diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama
atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja
itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an, perintah Tuhan Allah dan
kepada Hadits, sunnah Rosulullah.
Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan
perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka
perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari
segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah
manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan
hadits."
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majelis Tarjih
telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu:
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
KEDUDUKAN DAN TUGAS MAJELIS TARJIH
Majelis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majelis Tarjih ini merupakan “Think Thank"-nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah "processor" pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun tugas-tugas Majelis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah Majelis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4, adalah sebagai berikut:
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam
dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan
Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan
serta membimbing umat, khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam
membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan
dan meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang
keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majelis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya perlu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh. Sedangkan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan (ekonomi, politik, sosial-budaya, hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lain-lainnya).
MANHAJ TARJIH
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji "Mabadi’ Khomsah" (Masalah Lima) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan, perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselenggarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta.
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji "Mabadi’ Khomsah" (Masalah Lima) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan, perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselenggarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta.
1. Masalah Lima tersebut meliputi :
a.
Pengertian Agama
(Islam) atau al- Din , yaitu :
b.
" Apa yang
diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih,
berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan
manusia di dunia dan akherat.
c.
Pengertian Dunia
(al- Dunya ):
d.
" Yang
dimaksud urusan dunia dalam sabda Rasulullah saw : " Kamu lebih mengerti urusan duniamu " ialah
:segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara / pekerjaan-pekerjaan / urusan-urusan
yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
e.
Pengertian al- Ibadah, ialah:
f.
" Bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah SWT, dengan jalan
mentaati segala perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah SWT. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. Ibadah yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah dan ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah SWT akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya
yang tertentu.
g.
Pengertian Sabilillah,
ialah :
h.
"Jalan yang
menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloan Allah SWT, berupa segala amalan yang diijinkan Allah SWT untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan
hukum-hukum-Nya”
i.
Pengertian Qiyas,
(Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaan-nya).
j.
Karena Masalah
Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majelis Tarjih terus berusaha
merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Kemudian pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986,
setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majelis Tarjih baru berhasil
merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
2. Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih secara singkat adalah sbb :
a.
Di dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al- Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap
hal-hal yang tidak terdapat dalam nash, dapat dilakukan, sepanjang tidak
menyangkut bidang ta’abbudi, dan
memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan
perkataan lain, Majelis Tarjih menerima Ijitihad, termasuk qiyas, sebagai cara
dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. (Majelis tarjih
di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama
: Ijtihad Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal (umum) atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan
bertentangan, atau sejenisnya, kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai
contohnya adalah ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang ditaklukkan seperti tanah Iraq, Iran, Syam, dan Mesir kepada
pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan "Kharaj" dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal
muslimin, dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad
Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang
tidak di jelaskan oleh teks al-Quran maupun al-Hadist, diantaranya : mengqiyaskan zakat tebu, kelapa,
lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum, beras, dan makanan pokok
lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak (7,5 kwintal) Ketiga : Ijtihad
Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus
dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti;
membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual
barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dan lain-lain.
b.
Dalam memutuskan
sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah
ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan
dari anggota Majelis, tidak dipandang kuat. (Seperti pendapat salah satu
anggota Majelis Tarjih Pusat yang pernah dimuat di dalam majalah “Suara Muhammadiyah”, bahwa dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya
menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat ini hanyalah pendapat pribadi sehingga
tidak dianggap kuat. Yang diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003,
bahwa Muhammadiyah menggunakan Mathla’ Wilayah al- Hukmi )
c.
Tidak
mengikatkan diri kepada suatu mazhab, akan tetapi pendapat-pendapat mazhab,
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai
dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah,
atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. (Seperti halnya ketika Majelis
Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin al- Syahr di dalam menggunakan hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan
awal bulan Ramadlan. Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai
catatan: Rumusan di atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri
untuk tidak terikat dengan suatu mazhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya
pada al-Qur’an dan al-Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi
keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah
membentuk mazhab sendiri, yang disebut "Mazhab Muhammadiyah", ini
dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan Tarjih).
d.
Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang
paling benar. Keputusan ini diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang
dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil serta koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat
diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti halnya
pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekhawatiran
tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk
keluar rumah, dll)
e.
Di dalam masalah
aqidah (tauhid), hanya
dipergunakan dalil-dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan tentang aqidah
dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun
1929.
f.
Tidak menolak
ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (Ijma’ dari segi kekuatan hukum
dibagi menjadi dua, pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para
sahabat untuk membuat standarisasi penulisan al-Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti.
Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua: pertama
: ijma’ sahabat.
Ijma’ sahabat ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua
; Ijma’ setelah sahabat).
g.
Terhadap
dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl,
digunakan cara "al jam’u wa al taufiq". Jikalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih.
Kalau tarjih pun tidak bisa dilakukan, maka langkah penyelesaian selanjutnya
adalah dengan naskh, yaitu melacak keduanya dengan menetapkan
bahwa yang muncul lebih dahulu (mansukh) telah berakhir masa
berlakunya, sedangkan yang muncul belakangan (nasikh) tetap
diberlakukan. Kalau dengan cara yang ketiga inipun belum bisa menyelesaikan,
maka jalan terakhir adalah masalah tersebut ditawaqqufkan yakni dihentikan penelitian terhadap dalil tersebut dan mencari dalil
baru (Cara-cara melakukan jama’ dan
taufiq, diantaranya adalah: Pertama: Dengan menentukan
macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang
lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan QS Al Thalaq 4
dalam menentukan batasan iddah orang hamil, Kedua : Dengan
menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum,
seperti: menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89, dalam
menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’ antara
perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah ba’da Ashar, Ketiga:
Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq,
yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan
menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil
upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti
masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti: menjama’ antara
pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan yang berarti
bersih sesudah mandi. Kelima: Menetapkan masing-masing pada hukum
masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat
masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
h.
Menggunakan asas
"saddu al-darai’" untuk menghindari terjadinya fitnah
dan mafsadah (kerusakan). (Saddu al dzarai’ adalah perbuatan
untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibatkan kepada hal-hal
yang dilarang. Seperti: Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai
pendiri Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan.
Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di
Sidoarjo, karena kekhawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah
larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan
menyebabkan fitnah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar
Tarjih di Malang 1989.
i.
Men-ta’lil
dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah,
sepanjang sesuai dengan tujuan syari’ah. Adapun qaidah: "al-hukmu
yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman" dalam hal-hal tertentu,
dapat berlaku. (Ta’lil Nash adalah memahami nash al-Qur’an dan al-Hadits,
dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash. Seperti
perintah menghadap arah Masjid al-Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah
ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan,
yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang
pada Muktamar Majelis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa pelaksanaannya
mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak, selama aman dari
fitnah).
j.
Pengunaaan
dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara konprehensif,
utuh dan bulat
serta tidak terpisah. (Seperti halnya di dalam memahami
larangan menggambar makhluq yang bernyawa, jika dimaksudkan untuk disembah atau
dikhawatirkan akan menyebabkan kesyirikan).
k.
Dalil-dalil umum
al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. (
Lihat keterangan dalam point ke 5 )
l.
Dalam
mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip "Taisir"
(Diantara contohnya adalah: dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat
tarawih dengan 11 rekaat)
m.
Dalam bidang
Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur’an dan al-Sunnah,
pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar
belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga
prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai
situsi dan kondisi. (Contohnya, adalah ketika Majelis Tarjih menentukan awal
Bulan Ramadlan dan Syawal).
n.
Dalam hal-hal
yang termasuk "al umur al dunyawiyah" yang tidak
termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi
kemaslahatan umat.
o.
Untuk memahami
nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
p.
Dalam memahani
nash, makna zahir didahulukan dari ta’wil dalam
bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. (Seperti
dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan perbuatan
Allah swt, seperti Allah bersemayam di atas Arsy, Allah turun ke langit yang
terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam, dll)
PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN MAJELIS TARJIH
Sebagaimana diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah
merupakan persyarikatan yang bergerak untuk tajdid atau pembaharuan, maka Majelis Tarjih, yang merupakan
bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat kaku dan kolot, akan
tetapi keputusan-keputusan Majelis Tarjih masih ada kemungkinan mengalami
perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada dalil atau alasan yang dipandang
lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan Majelis dalam Persyarikatan bisa
mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang
terjadi dalam Majelis Tarjih adalah :
1. Perubahan nama "Majelis Tarjih". Karena
mengingat, semakin banyak dan kompleknya problematika-problematika yang
dihadapi umat Islam pada puluhan tahun akhir ini. Terutama berkembangnya
pemikiran baru, yang kesemuanya harus dijawab oleh Majelis Tarjih. Disamping itu karena nama Tarjih, masih identik dengan
masalah-masalah fiqh, maka nama Majelis Tarjih perlu di tambah dengan sebutan
yang bisa mewakili tugas tersebut, maka dipilihlah nama Pengembangan Pemikiran
Islam sehingga namanya menjadi "Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam". Penambahan ini diputuskan pada tahun 1995, ketika dilangsungkan
Muktamar Aceh. Pada muktamar tahun 2005 nama majelis ini berubah lagi menjadi
“Majelis Tarjih dan Tajdid” yang tetap berlaku sampai sekarang.
2. Penambahan terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan
Majelis Tarjih (Yaitu Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi)
dengan ditambah tiga pendekatan baru, yaitu Pendekatan "Bayani",
"Burhani", dan "Irfani". Tiga
pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun 2000.
Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003.
3. Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS
(Musyawarah Nasional) Tarjih.
4. Perampingan anggota Majelis Tarjih yaitu dengan
menetapkan Anggota Tetap Majelis Tarjih. Pada awalnya muktamar-muktamar atau
musyawarah-musyawarah Majelis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan
wilayah-wilayah yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan
MTPPI Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003
dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majelis Tarjih yang
berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang setiap hal
itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil, mengingat kurang efektif dan
efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini, khususnya ketika diganti
namanya dengan MUNAS (Musyawarah Nasional). Walaupun sampai saat ini, keputusan
tersebut belum di-tanfid-kan oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi
perjalanan Majelis Tarjih pada masa-masa mendatang.
5. Perubahan keputusan-keputusan tarjih yang dirasa
kurang sesuai lagi, seperti pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahmad Dahlan,
pencabutan larangan perempuan untuk keluar rumah, pencabutan keputusan tentang
larangan perempuan ikut berdemonstrasi dan lain-lain. Ini dikuatkan juga dengan
adanya komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih, pada MUNAS Tarjih di Padang,
Oktober 2003.
PENUTUP
Perjalan Majelis Tarjih selama 84 tahun, memang penuh
dengan tantangan dan cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat
Islam Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada
khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam, nampak
begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta pencarian yang
tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan, penyempurnaan, serta pengembangan Majelis
tarjih ini sangat mutlak diperlukan, guna memberikan konstribusi-konstribusi
yang bermanfaat bagi umat Islam Indonesia.
Demikian tulisan singkat tentang Majelis Tarjih ini,
mudah-mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi kader-kader Muhammadiyah,
dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan pemikiran dalam persyarikatan
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah,
Metodologi dan Aplikasi, (Jokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
Achmad
Jainuri, Model Tajdid Muhammadiyah: Membangun Peradaban Utama (Makalah),
Malang, 2010.
M. Amin Abdullah, Paradigma Tajdid
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Modernis-Reformis (Makalah),
Jakarta, 2010.
Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi
Induk Perkaderan Muhammadiyah, (Jogyakarta: BPK PP.Muhammadiyah,Oktober
1994, Cet I)
H.M. Djaldan Badawi, 95 tahun langkah perjuangan
Muhammadiyah, Himpunan Keputusan Muktamar, Lembaga pustaka dan Informasi PP
Muhammadiyah.
Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995)
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2002)
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia,
Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas Yarsi 1999)
Majelis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 ,
(Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)
An-Najah, Ahmad Zain, Metode Penggunaan Rukyat dan
Hisab, dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang: MTPPI PP
Muhammadiyah , 2003)
———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap
Hadist Ahad, (Makalah, 2004)
Peacock, James L., Gerakan Muhammadiyah memurnikan ajaran Islam di Indonesia, (Jakarta: Cipta kreatif, 1986.)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis
Tarjih, (Jokyakarta: PP. Muhammadiyah Cet. III) .
Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih
Muhammadiyah. (Padang: MTPPI PP Muhammadiyah , 2003)
Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad
Abduh,Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang)
Keputusan Munas Tarjih XXV tentang Manhaj Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam
Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 2010-2011
Posting Komentar