Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, etika
merupakan salah satu satu aspek yang paling dominan. Betapa tidak, sejak
masuknya gelombang hellinisme (wave of hellenism) dalam dunia pemikiran
Islam, etika telah menjadi bagian yang tak trpisahkan dari filsafat.
Tokoh-tokoh filsafat di masa itu adalah juga dikenal sebagai tokoh-tokoh
penggagas etika, seperti pada aliran stoic (al-ruwwaqiyyah), Pythagoras,
Galenus, Plato, Socrates, dan Aristotle sendiri, bahkan tokoh-tokoh filsafat
neo-Platonisme, seperti Plotinus dan Porphirus adalah sumber-sumber penting
etika dalam Islam. Di samping itu, persoalan etika sebenarnya menyangkut cara berpikir
(mode of thought) yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living
tradition) yang mencakup beberapa faktor yang saling terkait, yang nota
bene adalah persoalan filsafat, dan bukan sebagai atuaran yang menentukan
berbagai sikap masyarakat yang menyangkut baik buruk (baca: moral), seperti
yang sementara ini dipahami.
Sungguhpun etika terkait dengan moral, tetapi
persoalan etika bukanlah sekedar moral. Moral adalah aturan normatif yang
berlaku di suatu masyarakat tertentu, yang terbatas pada ruang dan waktu, dan
inilah yang disebut dengan akhlaq dalam Islam. Dengan demikian, etika
merupakan suatu pemikiaran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran moral.
Di antara para tokoh etika Islam adalah filsuf Ibn
Miskawaih, yang dalam dunia filsafat Islam dikenal sebagai guru ketiga (al-mu’allim
al-tsalits) setelah Aristoteles dan al-Farabi, dianggap sebagai salah
seorang tokoh filsuf yang menggagas filsafat etika. Semangat dan perhatiaannya
yang begitu intens terhadap bidang ini, dimulai ketika Ibn Miskawaih menjabat
sebagai pejabat pada pemerintahan ’Adlud al-Dawlah (tahun 367-372 H.) di masa
kekuasaan Bani Buwaih (Dawlat Bani Buwaih). Masa-masa ini bagi Ibn
Miskawaih adalah masa yang dilanda dekadensi moral yang luar biasa. Karena, meskipun
puncak prestasi dan kejayaan yang dicapai oleh pemerintahan ’Adlud al-Dawlah
ini tidak dibarengi dengan ketinggian akhlaq secara umum, baik di kalangan
elite, maupun rakyat jelatah. Adalah hal yang mendorong Ibn Miskawaih
memusatkan perhatiannya pada persoalaan etika.
Untuk itu, Ibn Miskawaih menegaskan perlu adanya
usaha untuk menyelaraskan akal budi dan iman (baca: syariat). Lebih dari
itu, Miskawaih menekankan bahwa hakekat manusia adalah makhluk sosial, maka
hendaknya manusia tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri, melainkan juga
memperhatikan orang lain.
Hal ini, bertolak dari pandangan Miskawaih tentang
etika, yang menurutnya adalah kondisi jiwa yang mendorong manusia untuk
melakukan suatu perbuatan secara spontan (tanpa pikir ataupun ragu). Dan yang
sedemikian itu tercapai manakala seseorang telah melalui tahapan-tahapan
tertentu (al-syarai’ wa al-ta`dibat), sehingga mampu melakukan perbuatan
itu secara reflek, yang kemudian dikenal dengan pendidikan (al-tarbiyah wa
al-ta`dib).
Makalah ini tidak hendak mengeksplorasi semua
pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih, melainkan sekedar menelusuri pemikiran
etika Miskawaih dari perspektif pendidikan. Untuk itu akan dikemukakan dalam
konteks ini, setting historis pemikiaran dan biografi Ibn Miskawaih
serta pokok-pokok pemikirannya dalam bidang etika terutama ditinjau dari sudut
pandang pendidikan.
Kerangka Metodologis Miskawaih
Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih
secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-Akhlaq wa
Tathhir al-A’raq. Karya inii terdiri dari tujuh bab: yang secara sistematis
dimulai dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia
dan asal usulnya; bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan
keutamaan, terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab lima,
membicarakan tentang keadilan dan menerangkannya secara mendetail tentang arti
keadilan; bab lima, membahas masalah persahabatan dan cinta; sedangkan pada dua
bab terakhir, yakni bab keenam dan ketujuh Ibn Miskawaih memberikan gambaran
beberapa hal yang berkaitan dengan penyakit jiwa berikut teknik pengobatannya.
Etika Ibn
Miskawaih memperoleh konsep dan metode pembahasannya secara eklektik dari
karya-karya filsafat Yunani, kebudayaan Persia, doktrin syariat Islam, dan
pengalaman pribadi. Para filsuf Yunani yang sangat besar pengaruhnya terhadap
pemikiran etika Ibn Miskawaih adalah Plato, Aristotle, Zeno, Galenus, dan
beberapa tokoh filsuf etika lainnya. Usaha Miskawaih, sebagaimana para filsuf
muslim lainnya, adalah memadukan antara teori-teori filsafat dengaan
pandangan-pandangannya sebagai seorang muslim. Namun begitu, nuansa pemikiran
etika Miskawaih, terutama dalam Tahdzib al-Akhlaq sangat kental dengan trend
pemikiran Aristotle.
Kalau karya monumental Miskawaih Tahdzib al-Akhlaq
sebagai dasar-dasar teoritis pemikiran etika, maka karyanya Tajarib al-Umam
wa Ta’aqub al-Himam memberikan contoh-contoh kongkrit dari teori yang dia
bangun, di mana Miskawaih menulisnya di masa-masa akhir penulisan
karya-karyanya. Lebih dari itu, tatkala buku Tahdzib al-Akhlaq membahas
persoalan etika secara teoritis, maka bukunya yang lain al-Hikmah
al-Khalidah menelaah delik-delik etika pada tataran praksis, adalah hal
yang menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu Miskawaih, dan betapa besar
perhatian dan kepeduliannya terhadap persoalan etika dan khazanah pemikiran
klasik, sehingga wajar jika dijulki sebagai bapak etika Islam.
Posting Komentar