Untuk
keperluan di atas, Majlis Tarjih telah merumuskan dan menetapkan pokok-pokok
manhaj dalam mengambil keputusan. Pokok-pokok Manhaj tersebut selanjutnya
menjadi pijakan metdologis dan etis bagi ulama Muhammadiyah dalam mengembangan
pemahaman, pemikiran dan pengamalan Dinul Islam. Azhar Basyir menjelaskan
secara ringkas pokok-pokok Manhaj tersebut adalah sebagai berikut
- Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah Al-Quran dan al-Sunnah al-ØaÍÊÍah (al-MaqbËlah). Ijtihad dan istinbat atas dasar 'illah terhadap hal-hal yang tidai terdapat di dalam nas, dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang hal yang dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Ijtihad, termasuk qiyas dapat digunakan sebagai cara menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya secara langsung
- Ijtihad dilaksanakan secara jama'I, dengan jalan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan diatas kebenaran. Pendapat pribadi tidak dipandang kuat.
- Tidak terikat dan mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi aqwal al-madzahib dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran Al-Quran dan al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.
- Berprinsip terbuka, toleran dan tidak memandang pendapat Majelis Tajih yang paling benar. Menerima koreksi dari siapa pun, selama diberikan dalil-dalil yang kuat. Majelis dimungkinkan untuk mengubah pendapat yang pernah diputuskan.
- Dalam masalah aqidah, hanya menggunakan dalil-dalil yang mutawatir.
- Tidak menolak ijma' sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
- Tentang dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arudl, digunakan cara: al-jam'u wa al-tawfiq, dan kalau tidak dapat dilakukan tarjih.
- Menggunakan asas "sadd al-dzara'I", untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
- Menta'lil dapat dilakukan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-Quran dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah "al-Íukmu yadËru ma‘a al-‘illati wujËdan wa ‘adaman" dalam hal tertentu dapat berlaku.
- Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
- Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip "al-taysir".
- Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-Quran dan As-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, namun tetap diakui akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
- Dalam hal-hal yang termasuk al-umËr al-dunyawiyyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat demi tercapainya kemaslahatan umat.
- Untuk memahami nas musytarak, faham sahabat dapat diterima.
- Dalam memahami nas, maka Ðahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal ini tidak harus diterima.
Jalan ijtihad yang telah ditempuh meliputi:
- IjtihÉd bayÉnÊ, yaitu ijtihad terhadap nas yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafaz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti jumbuh (mutasyÉbih) ataupun adanya beberapa dalil yang [tampak] bertentangan (ta‘ÉruÌ). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih.
- IjtihÉd QiyÉsÊ, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada naÎnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nas, karena adanya kesamaan ‘illah
- IjtihÉd iÎtiÎlÉÍÊ, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nas sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nas mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukumnya dilakukan berdasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
Dalam menggunakan
hadith, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih
sebagai berikut:
- Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. Yang dimaksud hadis mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat, baik ucapan ataupun perbuatan dan semacamnya baik bersambung atau tidak.
- Hadis mauquf yang dihukum marfu dapat menjadi hujjah. Hadis mauquf dihukum marfu' apabila ada qarinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadis itu marfu'.
- Hadis mursal saÍabÊ dapat dijadikan hujjah apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad.
- Hadis mursal tÉbi'i semata, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya kepada Nabi.
- Hadis-hadis ÌaÑÊf yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Sahih.
- Dalam menilai perawi hadis, jarÍ didahulukan daripada ta‘dÊl setelah adanya keterangan yang mu'tabar berdasarkan alasan-alasan syar'i.
- Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, apabila ada petunjuk bahwa hadis itu muttasil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.
Secara
singkat, dapat dikemukakan bahwa sistem istinbath dalam Muhammadiyah ialah :
(1). Langsung kepada Al Qur-an dan Sunnah Shahihah. (2). Dengan mempergunakan
qaidah ushul. (3). Menggunakan pertimbangan akal sehat. ( 4). Tidak terikat pada istinbath siapapun.
Rujukan
Sjahlan Rosjidi. "Ulama
Tarjih, Pendidikan Ulama dan Pendidikan Al-Islam"., Tim UMS., Muhammadiyah
di Penghujung Abad 20. (Solo: Muhammadiyah University Press, 1989.
Fathurrahan Djamil.
Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Plubishing House,
1995, hlm. 161-164; Mustafa Kamal Pasha etall., Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam. (Yogyakarta: LPPI UMY, 2000.
Nasikun., Studi Perbandingan Ijtihad Umar bin Khattab
dan Sistem Istinbath dalam Muhammadiyah
Posting Komentar