HUJAN
ilustrasi hujan deras |
Bagi Kang Karmin, hujan merupakan karunia Tuhan yang
tidak terhingga. Dalam doanya ia selalu berharap musim hujan akan lebih panjang
dari kemarau. Wajarlah kalau Kang Karmin menginginkan begitu, sebab ia hanyalah
petani tadah hujan. Sawahnya hanya sepetak di lereng gunung, di areal hutan
jati milik Perhutani yang telah gundul. Pantasnya mungkin bukan sawah tapi
tegalan. Ketika turun lapangan, kami mendapati hampir semua warga desanya mengatakan
bahwa problem utama saat kemarau adalah air. Membuat sumur terlalu mahal bagi
mereka karena kedalamannya bisa puluhan meter. Itupun belum tentu sumber airnya
besar. Mengandalkan kali yang melintasi desa mereka juga tidak bisa, sebab
semuanya pada kering. "Satu-satunya yang bisa diharapkan ya hujan
mas" kata Kang Karmin saat itu.
Sekaranglah musim yang dinantikan oleh Kang Karmin dan
para tetangganya. Dalam hatinya terbetik kesempatan di mana ia bisa menanami
tegalnya dan memberi minum sapi-sapi piarannya dengan leluasa. Tetapi bapak
tiga anak ini mungkin tidak pernah menyangka kalau hujan yang turun saat ini demikian
padat dan disertai angin kencang.
Menurut ramalan cuaca, itu adalah siklus dua lima
tahunan, akibat dari badai yang terjadi di Australia. Kang Karmin lagi-lagi
juga tidak bisa bercocok tanam. Rembesan air dari atas gunung demikian deras tidak
bisa dibendung, karena hutan pelindung yang berfungsi sebagai penyerap air tidak
ada lagi. Yang terjadi adalah banjir bandang disertai tanah longsor. Kang
karmin dan para tetangganya sekarang sibuk menyelamatkan keluarga, mengungsi ke
tempat yang lebih aman. Ia hanya menunggu bencana ini kan cepat berlalu.
"Kalau alam sudah bicara, apalah kuasa kita?" katanya setengah putus
asa.
Terkadang ia ingin menghujat nasib. Mengapa ia yang telah
miskin kok justru harus menanggung bencana begini? Tetapi ia teringat Kyai
Shobirin di musholla pernah mengajarinya tentang prasangka baik pada Tuhan.
"Min" kata pak Kyai, "hidup ini akan
berjalan seperti apa yang kita gambarkan dalam pikirkan kita"
"Nyuwun sewu, Kyai. Apa maksudnya?" sela
Kang Karmin
"Kalo hidup ini kita bayangkan enak, maka insyaallah
apa yang kita alami akan enak".
"Pangapunten, Kyai. Saya belum
mengerti".
"Begini, Min" jelas pak Kyai, "hidup ini
kan ada yang mengatur yaitu Gusti Allah. Dan Dia mengatur hidup ini seperti
yang dipikirkan oleh hamba-Nya. Kalau si hamba berpikiran positif terhadap
Tuhan dan hidup ini, ya.. insyaallah hidupnya akan berjalan positif,
begitu juga sebaliknya.."
"Jadi… kalau
kita berpikiran Gusti Allah itu baik, maka kesengsaraan yang kita alami itu
akan terasakan sebagai wujud kebaikan-Nya, begitu Kyai?"
"Minimal, rasa sakit akibat kesengsaraan tadi tidak
menjadikan kita putus asa"
"Sekarang saya paham, Kyai" kepala Kang Karmin
sambil mantuk-mantuk
"Hidup ini tergantung bagaimana kita menyikapinya,
Min" lanjut Kyai desa ini, "dan sikap itu terbentuk dari kualitas
cara pandang kita terhadap Tuhan: positifkah atau negatif. Dan begitulah
jadinya… karena Tuhan sendiri pernah bicara: Aku seperti apa yang disangkakan
hamba-Ku kepada-Ku…"
Tiba-tiba Kang Karmin tersadarkan dari lamunannya oleh
suara gaduh dua anaknya yang berebut sebungkus nasi hingga tumpah berceceran.
Bu Karmin memarahi keduanya sambil mengingatkan pentingnya sebungkus nasi di
pengungsian. Kang Karmin bangkit dari duduk karena tertarik pada photo di koran
pembungkus nasi. Dipungut dan dengan kemampuan yang terbatas ia membacanya.
Dari situ tahulah dia bahwa kejadian yang dialami sekarang ini juga menimpa
penduduk yang lain, di desa yang lain, di daerah yang lain, di belahan
Indonesia yang lain. Semuanya tersapu banjir bandang atau tertimbun tanah
longsor.
Tragisnya, ternyata peristiwa seperti ini sudah menjadi
rutinitas tahunan. Langganan di musim hujan. Dan semuanya tidak bisa (atau
pantasnya: tidak mau) berbuat apa-apa. Pemerintah sibuk sendiri dengan kekuasaan
dan birokrasinya yang mbulet, hingga tidak sempat (menyempatkan diri) untuk
merencanakan penanggulangan banjir sebelum musim hujan tiba. Mereka cenderung
menyalahkan terjadinya deforestasi (penggundulan hutan) tanpa pernah berhasil
menangkap pelakunya, apalagi melakukan reboisasi. Wakil rakyat sibuk sendiri
dengan kepentingan politik-ekonominya, hingga tidak lagi sensitif dengan
kesejahteraan dan keselamatan pemilihnya. Tokoh dan gerakan keagamaan hanya
mampu menunjukkan agama sebagai jalan kesabaran yang pasif tanpa pernah menjadikannya
sebagai sumber aksi kongkret pemberdayaan masyarakat dalam mengantisipasi
bencana langganan ini. Semuanya mandul. Karena ternyata dalam rutinitas musim
hujan ini semuanya telah terbenam dalam fatalisme yang diciptakannya
sendiri.
Kang Karmin jadinya merasa bersalah telah mengharap hujan
turun lebih lama. "Kalaulah tahu begini banyak orang sengsara, saya
mungkin tidak akan begitu getol meminta hujan!" katanya lugu. Tetapi, pantaskah
Kang Karmin merasa bersalah? Tentu ia tidak pantas merasa begitu karena ia
bukanlah termasuk orang yang menggunduli hutan di desanya, walaupun polisi
hutan sering menuduh warga desa sebagai pelakunya. Begitulah kearifan orang
desa yang teramat jauh untuk dimiliki oleh kita yang telah berkubang dalam
materialisme dan hedonisme. Dalam kesengsaraannya, Kang Karmin masih mampu
menunjukkan empatinya pada orang lain.[]
Posting Komentar