Hewan Ternak yang siap dikorbankan |
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik"
Idul Adha merupakan hari besar umat Islam setelah Idul Fitri, pada hari
tersebut umat Islam sedunia mengumandangkan takbir mengakui akan
kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam, manusia dan segala isinya.
Idul Adha yang dirayakan setiap tahun, pastinya akan mengingatkan pada
seseorang yang mempunyai keimanan yang luar biasa, penyabar dan
senantiasa bertawakkal secara total kepada Allah Swt, sosok itu adalah
Nabi Ibrahim As, bapak agama monotheisme yang selalu dijunjung
tinggi oleh agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Ibrahim As hidup di
tengah-tengah masyarakat yang menyembah patung dan berhala, di tengah
kondisi budaya masyarakat seperti itu, Ibrahim As dengan akal sehatnya
senantiasa berusaha mencari hakekat kebenaran dengan melakukan berbagai
renungan dan refleksi terhadap budaya yang ada di sekitarnya, dia sama
sekali keluar dari pengaruh cara berfikir masyarakat kala itu.
Dalam proses pencarian kebenaran tersebut, Ibrahim As sampailah pada
titik keyakinan yang benar bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, Maha Esa,
Maha Tak Terhingga, Dia lah Tuhan yang telah menciptakan alam ini
beserta segala isinya sekaligus mengaturnya, dan tentu saja secara tidak
langsung telah menasakh (menghapus) keyakinan atas berhala-berhala yang sedang disembah oleh bapak dan masyarakatnya saat itu.
Hal tersebut terekam dalam firmannya dalam Surah Al An’am ayat 74 – 79:
dan
(ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” dan Demikianlah
Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang
terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia
Termasuk orang yang yakin. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah
bintang (lalu) Dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu
tenggelam Dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: “Inilah Tuhanku”.
tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: “Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang
yang sesat.” kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata:
“Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu
terbenam, Dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
tuhan.
Nabi Ibrahim As telah meletakkan landasan-landasan agama yang
mengesakan Tuhan (kebenaran yang hakiki), karenanya ditegaskan oleh
Alquran, bahwa Ibrahim As bukanlah seorang Yahudi, dan bukan pula
seorang Nasrani, tetapi Ibrahim As adalah orang yang hanif (lurus) dan dia juga seorang muslim
(yakni orang yang senantiasa pasrah menyerahkan dirinya kepada Tuhan)
dan yang terpenting bahwa Ibrahim As bukanlah seorang yang musyrik.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah Ali Imran ayat 67:
Ibrahim
bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik.
Hari Raya Idul Adha selain disebut sebagai Hari Raya Haji juga dikenal
dengan Hari Raya Qurban. Ibadah Qurban bermula ketika Allah Swt
memerintahkan kepada Nabi Ibrahim As melalui mimpi untuk menyembelih
putera kesayangannya Ismail yang diceritakan dalam surah Ash Shaffat
ayat 100 – 111 sebagai berikut:
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk
orang-orang yang saleh. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang
anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi
Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu)
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi
Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia Termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.
Ujian yang sangat berat tersebut pun sanggup dilalui oleh Ibrahim As
dengan penuh kepasrahan demi kecintaannya kepada Allah Swt. Ibrahim As
telah berani berjihad guna melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering
kali menguasai setiap hati manusia. Di tengah-tengah kepasrahan Nabi
Ibrahim As untuk menyembelih putra idamannya tersebut, Allah Swt pun
mengutus Malaikat-Nya turun ke bumi untuk menggantikan Ismail yang akan
disembelih dengan domba sembelihan. Kemudian dari cerita dan peristiwa
yang dialami Ibrahim As tersebut tradisi qurban terus menerus dilakukan
hingga zaman sekarang.
Dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim As untuk menyembelih anaknya,
Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat
seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk
mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan
simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan
seorang Ibrahim As pada titah sang pencipta.
Qurban secara simbolik wujudnya adalah berupa hewan sembelihan yang
dipersembahkan kepada Tuhan. Tetapi sesungguhnya, yang sampai kepada
Allah Swt bukanlah daging dan darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya
hanyalah ketaqwaan. Allah Swt berfirman dalam surah Al Hajj ayat 37 :
Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah
Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.
Dengan demikian, yang harus diqurbankan atau disembelih adalah
sifat-sifat kebinatangan sebagai lambang ketaatan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Qurban bukan pula untuk “mengambil hati” yang Maha
Kuasa, Allah Swt tidak pernah tergantung dengan hamba-Nya, karena itu
Allah Swt tidak pernah mengharapkan akan darah dan daging hewan qurban
tersebut, tetapi yang dinilai adalah ketaatan, rasa syukur dan
keikhlasan untuk berqurban dan membagi harta dengan orang yang
memerlukan salah satunya lewat pembagian daging hewan qurban. Senada
dengan hal tersebut Ali Syari’ati (1997), mengemukakan bahwa ritual
qurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada
Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama
mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Dengan berqurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila
Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang
lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang
miskin. Ibadah qurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan
kenyang seperti Anda. Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan
ritus qurban memiliki tiga makna penting sekaligus.
Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik.
Qurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang
pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat
kita kasihi. Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang
kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan
tetapi tidak menunaikan perintah qurban. Dalam konteks itu, Nabi
bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi
terhadap sesama. Qurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan
sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan
sosial itu. Ketiga, makna bahwa apa yang diqurbankan merupakan
simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia
seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak
menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.
Penutup
Pesan Idul Adha (Qurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas). Pertama,
semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras,
suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai
ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan
manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat
diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi
kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri. Dalam
kesehariannya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama
Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah.
Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan
Tuhannya saja, yang terlepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan.
Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal tersebut, pada
akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi
kemanusiaan di tengah-tengah kita.
sumber http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-menyelami-makna-qurban-detail-300.html
Posting Komentar