Kegelisahan Ruhiyah/Spiritual
KH Ahmad Dahlan
KHA Dahlan |
Namun demikian, KH Ahmad
Dahlan menjelaskan pula bahwa, asal mula kelahiran manusia adalah berdasarkan “fitrah”,
asal yang suci, murni dan bersih [bebas dari angkara murka dan kejahatan]. Lalu ia
dipangaruhi oleh hawa
nafsunya, orang tua, lingkungan pergaulan, guru, rumah tangga serta masyarakat
sekitarnya. Inilah proses yang pada akhirnya manusia tertawan oleh hawa
nafsunya sendiri.[1]
Penjelasan tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW berikut :
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ
إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأَبـَوَاهُ يـُهَـوِّدَانِهِ أَوْ يُـنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُـنْتِجُ اْلبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Kalaulah, pada awal mulanya,
manusia terlahirkan dalam keadaan “fitrah” sebagaimana diterangkan di atas,
lalu mengalami pergeseran kepada keburukan, bahkan menyamai hewan yang tidak
memiliki potensi akal, mungkinkah mereka kembali kepada “fitrah” yang awal itu?
Jika memungkinkan, bagaimanakah
cara menuju kepada kesucian itu?
Dalam hemat pandangan kami,
inilah yang menjadi kegelisahan “ruhiyah” atau perenungan ”spiritual”
KH Ahmad Dahlan, yang menurut riwayat KHR Hadjid, menjadikan beliau masygul
merenungkannya siang dan malam. Tapi juga pada saat yang sama menjelma menjadi
kekuatan ruhiyah yang dahsyat,
menembus relung jiwanya yang terdalam serta membangkitkan kekuatan dan iradah
untuk beramal.
Tazkyatun Nufus Sebagai Metode Menemukan Kembali Fitrah
Yang Hilang
Setelah melakukan tafakkur,
muhasabah dan muraqabah akhirnya KH Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
untuk menemukan kembali fitrah yang hilang kita dituntut untuk melakukan pensucian
diri/jiwa (tazkyatun nufus). Hal ini dapat dilakukan dengan cara melawan
hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Inilah kunci
kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Takwa kepada Allah merupakan pangkal
segala kebaikan sebagaimana memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal segala
keburukan[2]
Menurut KH Ahmad Dahlan,
melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita masing-masing tidaklah dapat
dilakukan, kecuali dengan membuang jauh-jauh dari diri kita segala sesuatu yang
bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Sunnah. “Setelah kita mampu membersihkan diri dari khurafat, dapat membandingkan dalil-dalil sehingga dapat
mengerti Islam dengan sebenarnya, mengerti sunah-sunah Rasulullah SAW”, kata
beliau, “Belum tentu kita dapat menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an
jika hawa nafsu di dalam hati masih menjadi berhala.”
KH Ahmad Dahlan mengajarkan
dan mendidik kita untuk membuang segala kebiasaan yang ada dalam diri sendiri,
dalam rumah tangga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW. Beliau juga
menegaskan perlunya melakukan muhasabah dalam segala sesuatu, baik itu
menyangkut perkara aqa’id, ikhlas karena Allah SWT maupun
perkara-perkara amaliah. Kebersihan jiwa akan terwujud bila kita mempu membuang
segala kebiasaan buruk itu.[3]
Penjelasan tersebut sepadan
dengan pernyataan Imam
Al-Ghazali. Kata beliau dalam kitabnya “Mengobati Penyakit Hati” :
“Mengobati
jiwa yang sakit adalah dengan jalan menghilangkan tabiat rendah dan
akhlaq-akhlaq buruk, serta mengisinya dengan keutamaan dan budi yang mulia.
Sama halnya dengan mengobati tubuh dari suatu penyakit dan menjadikan tubuh
sehat dan segar bugar…Setiap anak yang baru dilahirkan, ia pasti dalam keadaan
normal jiwanya, sehat fitrahnya serta masih murni dan bersih dari segala
pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi penganut
agama Yahudi, Nashrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentu karena adanya hasil
kebiasaan, pendidikan, dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi
menjadi gemar melakukan sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan melakukannya.”[4]
Fluktuasi Jiwa dan Metode Tazkyatun
Nufus Menurut KH Ahmad Dahlan
Manusia bukanlah Malaikat,
sehingga ia terus menerus melakukan ketaatan. Bukan pula Syithan yang totalitas
kehidupannya dalam kemaksiatan
kepada Allah SWT. Manusia berada di antara daya tarik kedua makhluk tersebut.
Sudah menjadi ketentuan dan
kehendak Allah SWT yang azali [taqdir kawniy] bahwa manusia
dianugerahkan dua potensi
yang antagonis pada dirinya yang satu; potensi taqwa dan potensi fujur. Kedua potensi ini
terus dan selalu berkompetisi yang kemudian melahirkan fluktuasi keadaan jiwa
manusia. Tapi juga Allah SWT memberikan isyarat yang tegas bagaimana sebaiknya
manusia memenej potensi tersebut. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Syams ayat 7-10 :
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.[5]
Dalam berinteraksi dengan kedua potensi yang bertolak belakang tersebut
manusia secara garis besarnya akan mengalami tiga keadaan berikut ini; pertama,
jika Takwa lebih dominan daripada fujur kecenderungannya ialah dzikrullah[6] dan inilah
yang disebut Al-Nafs al-Muthma’innah[7]; kedua, Takwa
seimbang dengan fujur berorientasi kepada sikap mengutamakan akal[8]. Inilah Al-Nafs
al-Lawwâmah[9]; ketiga Al-Nafs
al-Ammârah bi al- Sû[10] yang merupakan
potret dominannya Fujur daripada takwa
dan berorientasi kepada syahwat, nafsu, hedonis[11]
Tidak satupun diantara kita
selamat dari fluktuasi tiga keadaan jiwa tersebut, kecuali dengan curahan
rahmat Allah SWT. Bahkan Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam dengan tulus
mengakui betapa daya tarik nafsu/fujur itu sangat kuat. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam
ayat berikut ini :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي
غَفُورٌ رَحِيمٌ [12]
Wujud
rahmat Allah SWT kepada kita adalah diturunkannya syari’at
yang menata hubungan kita denganNya, interaksi sesama dan juga hubungan kita
dengan alam semesta ini. Dalam hemat penulis, sistem syariat
inilah yang dijadikan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai titik tolak/munthalaq
dalam merumuskan metode dan jalan pensucian diri/jiwa, tazkyatun nufus. Allah
SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ
مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى [13]
Berdasarkan
ayat ini, KH Ahmad Dahlan merumuskan tiga metode, jalan pensucian jiwa (tazkyatun
nufus) yaitu; Dzikrullah,
Menunaikan shalat dan Mengingat kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir [kehidupan akherat].[14]
1) Jalan pertama : Dzikrullah
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ
اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [15]
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan makna ayat ini, “Belumkah datang saatnya agar hati orang-orang yang
beriman itu menjadi lembut ketika berdzikir dan medapatkan mau’idzah, juga ketika
mereka mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka memahaminya, atuh serta mentaatinya.”[16]
Abdullah ibn Mas’ud RA berkata :
ما كان بين
إسلامنا وبين أن عوتبنا بهذه الآية إلا أربع سنين (رواه مسلم)
KH Suprapto Ibnu
Juraimi, guru kita yang populer dengan rihlah dakwahnya, menerangkan
bahwa berdzikir dan bertasbih adalah bentuk amal shaleh yang merupakan saluran
dan jembatan dari nurani, dan ada beberapa amalan tersendiri yang mampu
menjembatani dan menyalurkan kita pada tingkatan yang lebih tinggi dan
tertinggi. Orang yang berhasrat sangat untuk menjadikan kalbunya bercahaya
terang, namun ia tidak memiliki wiridan atau dzikir, berarti ia tidak melakukan
usaha untuk mencapai tingkatan-tingkatan itu.[17]
Al-Imam Al-Ghazali
berkata :
“Ketahuilah bahwa
orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah mengetahui bahwa tidak
ada keselamatan kecuali (keselamatan) dalam pertemuan dengan Allah SWT. Tidak
ada jalan untuk bertemu denganNya kecuali kematian seorang hamba dalam keadaan
cinta kepadaNya, juga mengenal hakekatNya. Sungguh cinta dan keakraban takkan
tercapai kecuali dengan senantiasa tafakkur tentang berbagai ciptaan, sifat-Sifat
dan perbuatanNya. Di alam wujud ini,
yang ada hanyalah Allah SWT serta perbuatan-perbuatanNya. Kita tak kan dapat
berdzikir dan tafakkur kecuali dengan berpisah dari syahwat-syahwat dunia, dan
mengambil darinya sebatas keperluan saja. Semua itu tak kan juga tercapai
kecuali dengan meluangkan sebagian waktu malam dan siang untuk menunaikan dzikrullah.”[18]
Dzikir menurut KH
Ahmad Dahlan dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut; mengingat dan
menghayati sifat-sifat Allah yang agung (asma’ wa shifat); mengingat dan tafakkur terhadap ayat-ayat Allah
SWT; mengingat dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT; menyebut Asma’ dan shifat
Allah SWT dengan lisan; dzikir dengan qalbu : dzikir kepada Allah SWT dengan
sungguh-sungguh, melupakan segala sesuatu selain dariNya, sehingga seolah-olah
kita melihatNya; dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring
di segala tempat dan waktu; memulai aktifitas : بسم الله
الرحمن الرحيم ; dalam
menghadapi kesulitan menyebut tahlil : لاإله إلا الله; menerima kenikmatan
Allah dengan menyebut : الشكر لله; melihat sesuatu yang
haram : سبحان الله;
ketika berbuat dosa : أستغــفرالله; ketika mendapatkan
musibah : إنا لله وإنا إليه راجعون / حسبنا الله
ونعم الوكيل; ingat akan qadla dan qadar Allah SWT :
توكلت على الله ; terhadap ajakan taat atau godaan maksiat : لاحول ولا قوة
إلا بالله
Selain dari
beberapa macam dzikir tersebut, dapat pula melakukan pembacaan wirid yang telah
ditulis oleh para ulama terkemuka yang berdasarkan pada hadis-hadis yang
shahih/maqbul. KRH Hadjid meriwayatkan bahwa KH Ahmad Dahlan seringkali
mengajarkan do’a-do’a dan wirid kepada murid-muridnya.
[1] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 45-47
[2] Ibid…hal. 48
[3] Ibid…hal. 48-51
[4] Imam Al-Ghazali, Mengobati Penyakit
Hati, Terjemah : Ahmad Sunarto [Jakarta :
Pustaka Amani, 1995] Cet. Ke-1, hal.33
[5] Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
[6] Surat
Ali Imran : 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[7] [Surat Al-Fajr : 27-30] يَاأَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً.
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي
[8] [Al-Baqarah : 9 ] يُخَادِعُونَ
اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ
[9] [Al-Qiyamah :2] وَلَا أُقْسِمُ
بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة ِ
[10][Yusuf
:53] إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ
بِالسُّوءِ
[11] زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ(آل عمران : 14) فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا(مريم:59)
[12] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf : 53]
[13] “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia
sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la : 14-17]
[14] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 52-60
[15] Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(Al-Hadid : 16)
[16] Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Qur’a Al-‘Adzim,
IV/311
[17] Ibnu
Juraimi, “Optimalisasi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah” dalam, Dakwah
Islam Kontemporer; Tantangan dan Harapan (Yogyakarta: MTDK-PPM, 2004) Cet.
1, hal. 204
[18] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta : Robbani Press, 2000),
Cet. Ke-3, hal. 100
Posting Komentar