ALAMAT : KANTOR PUSAT & ASRAMA PUTRI 1 JL. MERBABU NO 26 KODE POS 63121 TLP. 0351-453920, ASRAMA PUTRI 2 JL. JOIRANAN NO 25, ASRAMA PUTRA JL. TRENGULI NO 18B, rintisan mbs hamka jl poncowati demangan kota madiun
Home » » Mensucikan Jiwa Dalam Ajaran KH Ahmad Dahlan رَحمَهُ اللهُ Part 3

Mensucikan Jiwa Dalam Ajaran KH Ahmad Dahlan رَحمَهُ اللهُ Part 3

Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Januari 25, 2013 | 12.51


Kegelisahan Ruhiyah/Spiritual KH Ahmad Dahlan 
KHA Dahlan
Namun demikian, KH Ahmad Dahlan menjelaskan pula bahwa, asal mula kelahiran manusia adalah berdasarkan “fitrah”, asal yang suci, murni dan bersih [bebas dari angkara murka dan kejahatan]. Lalu ia dipangaruhi oleh hawa nafsunya, orang tua, lingkungan pergaulan, guru, rumah tangga serta masyarakat sekitarnya. Inilah proses yang pada akhirnya manusia tertawan oleh hawa nafsunya sendiri.[1] Penjelasan tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW berikut :

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأَبـَوَاهُ يـُهَـوِّدَانِهِ أَوْ يُـنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُـنْتِجُ اْلبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ (رواه البخاري)

Kalaulah, pada awal mulanya, manusia terlahirkan dalam keadaan “fitrah” sebagaimana diterangkan di atas, lalu mengalami pergeseran kepada keburukan, bahkan menyamai hewan yang tidak memiliki potensi akal, mungkinkah mereka kembali kepada “fitrah” yang awal itu? Jika memungkinkan, bagaimanakah cara menuju kepada kesucian itu?

Dalam hemat pandangan kami, inilah yang menjadi kegelisahan “ruhiyah” atau perenungan ”spiritual” KH Ahmad Dahlan, yang menurut riwayat KHR Hadjid, menjadikan beliau masygul merenungkannya siang dan malam. Tapi juga pada saat yang sama menjelma menjadi kekuatan ruhiyah yang dahsyat, menembus relung jiwanya yang terdalam serta membangkitkan kekuatan dan iradah untuk beramal.

Tazkyatun Nufus Sebagai Metode Menemukan Kembali Fitrah Yang Hilang

Setelah melakukan tafakkur, muhasabah dan muraqabah akhirnya KH Ahmad Dahlan berpendapat bahwa untuk menemukan kembali fitrah yang hilang kita dituntut untuk melakukan pensucian diri/jiwa (tazkyatun nufus). Hal ini dapat dilakukan dengan cara melawan hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Inilah kunci kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Takwa kepada Allah merupakan pangkal segala kebaikan sebagaimana memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal segala keburukan[2]

Menurut KH Ahmad Dahlan, melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita masing-masing tidaklah dapat dilakukan, kecuali dengan membuang jauh-jauh dari diri kita segala sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. “Setelah kita mampu membersihkan diri dari khurafat, dapat membandingkan dalil-dalil sehingga dapat mengerti Islam dengan sebenarnya, mengerti sunah-sunah Rasulullah SAW”, kata beliau, “Belum tentu kita dapat menjalankan ajaran-ajaran al-Quran jika hawa nafsu di dalam hati masih menjadi berhala.”

KH Ahmad Dahlan mengajarkan dan mendidik kita untuk membuang segala kebiasaan yang ada dalam diri sendiri, dalam rumah tangga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW. Beliau juga menegaskan perlunya melakukan muhasabah dalam segala sesuatu, baik itu menyangkut perkara aqaid, ikhlas karena Allah SWT maupun perkara-perkara amaliah. Kebersihan jiwa akan terwujud bila kita mempu membuang segala kebiasaan buruk itu.[3]

Penjelasan tersebut sepadan dengan pernyataan Imam Al-Ghazali. Kata beliau dalam kitabnya “Mengobati Penyakit Hati” :

“Mengobati jiwa yang sakit adalah dengan jalan menghilangkan tabiat rendah dan akhlaq-akhlaq buruk, serta mengisinya dengan keutamaan dan budi yang mulia. Sama halnya dengan mengobati tubuh dari suatu penyakit dan menjadikan tubuh sehat dan segar bugar…Setiap anak yang baru dilahirkan, ia pasti dalam keadaan normal jiwanya, sehat fitrahnya serta masih murni dan bersih dari segala pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi penganut agama Yahudi, Nashrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentu karena adanya hasil kebiasaan, pendidikan, dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi menjadi gemar melakukan sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan melakukannya.”[4]

Fluktuasi Jiwa dan Metode Tazkyatun Nufus Menurut KH Ahmad Dahlan

Manusia bukanlah Malaikat, sehingga ia terus menerus melakukan ketaatan. Bukan pula Syithan yang totalitas kehidupannya dalam kemaksiatan kepada Allah SWT. Manusia berada di antara daya tarik kedua makhluk tersebut.

Sudah menjadi ketentuan dan kehendak Allah SWT yang azali [taqdir kawniy] bahwa manusia dianugerahkan dua potensi yang antagonis pada dirinya yang satu; potensi taqwa  dan potensi fujur. Kedua potensi ini terus dan selalu berkompetisi yang kemudian melahirkan fluktuasi keadaan jiwa manusia. Tapi juga Allah SWT memberikan isyarat yang tegas bagaimana sebaiknya manusia memenej potensi tersebut. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat  al-Syams ayat 7-10 :

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.[5]
Dalam berinteraksi dengan kedua potensi yang bertolak belakang tersebut manusia secara garis besarnya akan mengalami tiga keadaan berikut ini; pertama, jika Takwa lebih dominan daripada fujur  kecenderungannya ialah dzikrullah[6] dan inilah yang disebut Al-Nafs al-Muthmainnah[7]; kedua, Takwa seimbang dengan fujur berorientasi kepada sikap mengutamakan akal[8]. Inilah Al-Nafs al-Lawwâmah[9]; ketiga Al-Nafs al-Ammârah bi al- Sû[10] yang merupakan potret dominannya Fujur  daripada takwa dan berorientasi kepada syahwat, nafsu, hedonis[11]

Tidak satupun diantara kita selamat dari fluktuasi tiga keadaan jiwa tersebut, kecuali dengan curahan rahmat Allah SWT. Bahkan Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam dengan tulus mengakui betapa daya tarik nafsu/fujur itu sangat kuat. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat berikut ini :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ   [12]
Wujud rahmat Allah SWT kepada kita adalah diturunkannya syari’at yang menata hubungan kita denganNya, interaksi sesama dan juga hubungan kita dengan alam semesta ini. Dalam hemat penulis, sistem syariat inilah yang dijadikan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai titik tolak/munthalaq dalam merumuskan metode dan jalan pensucian diri/jiwa, tazkyatun nufus. Allah SWT berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى [13]
Berdasarkan ayat ini, KH Ahmad Dahlan merumuskan tiga metode, jalan pensucian jiwa (tazkyatun nufus) yaitu; Dzikrullah, Menunaikan shalat dan Mengingat kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir  [kehidupan akherat].[14]


1)     Jalan pertama : Dzikrullah

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [15]

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini, “Belumkah datang saatnya agar hati orang-orang yang beriman itu menjadi lembut ketika berdzikir dan medapatkan mauidzah, juga ketika mereka mendengarkan Al-Quran, lalu mereka memahaminya, atuh serta mentaatinya.”[16]
Abdullah ibn Masud RA berkata :

ما كان بين إسلامنا وبين أن عوتبنا بهذه الآية إلا أربع سنين (رواه مسلم)

KH Suprapto Ibnu Juraimi, guru kita yang populer dengan rihlah dakwahnya, menerangkan bahwa berdzikir dan bertasbih adalah bentuk amal shaleh yang merupakan saluran dan jembatan dari nurani, dan ada beberapa amalan tersendiri yang mampu menjembatani dan menyalurkan kita pada tingkatan yang lebih tinggi dan tertinggi. Orang yang berhasrat sangat untuk menjadikan kalbunya bercahaya terang, namun ia tidak memiliki wiridan atau dzikir, berarti ia tidak melakukan usaha untuk mencapai tingkatan-tingkatan itu.[17]

Al-Imam Al-Ghazali berkata :
“Ketahuilah bahwa orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah mengetahui bahwa tidak ada keselamatan kecuali (keselamatan) dalam pertemuan dengan Allah SWT. Tidak ada jalan untuk bertemu denganNya kecuali kematian seorang hamba dalam keadaan cinta kepadaNya, juga mengenal hakekatNya. Sungguh cinta dan keakraban takkan tercapai kecuali dengan senantiasa tafakkur tentang berbagai ciptaan, sifat-Sifat  dan perbuatanNya. Di alam wujud ini, yang ada hanyalah Allah SWT serta perbuatan-perbuatanNya. Kita tak kan dapat berdzikir dan tafakkur kecuali dengan berpisah dari syahwat-syahwat dunia, dan mengambil darinya sebatas keperluan saja. Semua itu tak kan juga tercapai kecuali dengan meluangkan sebagian waktu malam dan siang untuk menunaikan dzikrullah.”[18]

Dzikir menurut KH Ahmad Dahlan dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut; mengingat dan menghayati sifat-sifat Allah yang agung (asma wa shifat); mengingat dan tafakkur terhadap ayat-ayat Allah SWT; mengingat dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT; menyebut Asma dan shifat Allah SWT dengan lisan; dzikir dengan qalbu :  dzikir kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh, melupakan segala sesuatu selain dariNya, sehingga seolah-olah kita melihatNya; dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring di segala tempat dan waktu; memulai aktifitas : بسم الله الرحمن الرحيم ; dalam menghadapi kesulitan menyebut tahlil : لاإله إلا الله; menerima kenikmatan Allah dengan menyebut : الشكر لله; melihat sesuatu yang haram : سبحان الله; ketika berbuat dosa : أستغــفرالله; ketika mendapatkan musibah : إنا لله وإنا إليه راجعون / حسبنا الله ونعم الوكيل; ingat akan qadla dan qadar Allah SWT : توكلت على الله ; terhadap ajakan taat atau godaan maksiat : لاحول ولا قوة إلا بالله

Selain dari beberapa macam dzikir tersebut, dapat pula melakukan pembacaan wirid yang telah ditulis oleh para ulama terkemuka yang berdasarkan pada hadis-hadis yang shahih/maqbul. KRH Hadjid meriwayatkan bahwa KH Ahmad Dahlan seringkali mengajarkan do’a-do’a dan wirid kepada murid-muridnya.




[1] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 45-47
[2] Ibid…hal. 48
[3] Ibid…hal. 48-51
[4] Imam Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati, Terjemah : Ahmad Sunarto [Jakarta: Pustaka Amani, 1995] Cet. Ke-1, hal.33
[5] Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
[6] Surat Ali Imran : 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[7]  [Surat Al-Fajr : 27-30] يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي 
[8] [Al-Baqarah : 9 ] يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
[9] [Al-Qiyamah :2] وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة ِ
[10][Yusuf :53] إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
[11]       زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ(آل عمران : 14) فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا(مريم:59)
[12] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf : 53]
[13] “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la : 14-17]
[14] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 52-60
[15] Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(Al-Hadid : 16)
[16] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’a Al-‘Adzim,  IV/311
[17] Ibnu Juraimi, “Optimalisasi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah” dalam, Dakwah Islam Kontemporer; Tantangan dan Harapan (Yogyakarta: MTDK-PPM, 2004) Cet. 1, hal. 204
[18] Said Hawa, Intisari Ihya Ulumuddin Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2000), Cet. Ke-3, hal. 100
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | admin | Mas Template
Copyright © 2011. Panti-Asuhan-Muhammadiyah-Madiun - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by admin wabsite PA Ponpes Muhammadiyah Madiun