Munthalaq (start
point) : Tafsir Surat Al-Jâtsiyah Ayat 23
KHA Dahlan |
Sebagai murid yang baik, yang tidak ingin kehilangan kilauan mutiara
kehidupan gurunya, KHR Hadjid selalu menyelidiki apa yang menjadi pikiran dan
renungan serta membuat masygul KH Ahmad Dahlan siang dan malam. Sampai pada suatu ketika beliau menemukan
papan tulis kecil di atas meja sang guru. Di sana tertulis
petikan al-Qur’an, surat al-Jatsyah
ayat 23 berikut ini :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ[1]
Tim Ulama yang menyusun Al-Tafsir
Al-Muyassar menyatakan, ayat tersebut mengandung pesan utama agar orang-orang mukmin waspada jika
hawa nafsu menjadi pendorong atau motivator mereka dalam beramal dan berkarya.[2]Menurut
Al-Imam Al-Thabari, ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang menjalankan
agamanya dengan hawa nafsu. Ia tidak beriman dengan Allah SWT, tidak pula
menghalalkan ataupun mengharamkan sesuatu berdasarkan ajaranNya; hawa nafsu
oriented. Sehingga dapat ditegaskan bahwa orang seperti ini menjadikan hawa
nafsu sebagai agamanya.[3] Hal
senada dinyatakan oleh Ibnu Abbas, Hasan dan Qatadah radliallahu ‘anhum,
sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an. Sementara
‘Ikrimah radliallah ‘anhu berpendapat, ayat tersebut mengisyaratkan
orang yang menyembah sesuatu sesukanya, atau yang dianggap baik. Abu Darda’radliallah
‘anhu berkata[4],
إذا أصبح الرجل اجتمع هواه وعمله وعلمه فإن كان عمله تبعا لهواه فيومه يوم سوء
وإن كان عمله تبعا لعلمه فيومه يوم صالح[5]
Demikianlah makna firman Allah SWT dalam Al-Jatsiyah : 23 yang dikemukakan
oleh sebagian mufassir terkemuka. Menurut penulis, masih diperlukan penafsiran
yang lebih ‘tajam’ dan ‘menukik’ untuk membangkitkan spirit dan
ruhiyah kita. Barangkali di sinilah letak ketajaman makna ayat tersebut dalam
pandangan KH Ahmad Dahlan. Menurutnya, ayat
tersebut mengandung makna dan ajaran sebagai berikut :
1)
Kita dilarang untuk menghambakan diri kepada siapapun
atau benda apapun jua, kecuali kepada Allah SWT. Orang yang menghambakan diri
kepada hawa nafsunya, mengerjakan apa saja yang menjadi dorongan hawa nafsunya
dapat dikategorikan sebagai musyrik. Kaum musyrikin menyembah berhala
karena taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang mereka. Ini bermakna
mereka menjadi hamba dari hawa nafsunya, patuh mengikuti perilaku kebiasaan
yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat mereka.
2)
Siapa saja yang tunduk/taat dan berbuat mengikuti
kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT juga dapat disebut sebagai
penyembah hawa nafsu. Karena jelas, kita tidak diperbolehkan secara syar’iy untuk mencintai
siapapun jua di atas cinta kasih kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal sedemikian
ditegaskan pula oleh Allah SWT dalam surat al-Taubah ayat 24 :
قُلْ إِنْ كَانَ
ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي
سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [6]
Juga dalam surat
al-Baqarah : 165
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ [7]
3)
Berhala
hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya
sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk
membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat
sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Dalam pemenuhan cinta
terhadap hawa nafsunya, manusia seringkali lupa akan akibat dan malapetaka yang
ditimbulkannya, lupa akan akibat-akibat buruknya. Manusia berbuat semaunya,
mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan,
kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.[8]
Dalam berinteraksi dengan hawa nafsu, yang seringkali menjadi abstrak di
hadapan kita sehingga kita kehilangan stamina untuk menatanya, KH Ahmad Dahlan
secara tegas mengidentifikasikannya sebagai “musyrik” !. Sebagian di antara kita
mungkin akan berkomentar, “ekstrem” (?).
Perlu dicatat, umat Islam, pada umumnya, sangat familiar dengan dua jenis
syirik; akbar dan ashghar. Mereka, atau juga kita, kurang akrab
dengan jenis syirik yang satu ini; al-syirk al-khafiyy. Syirik jenis
terakhir ini lebih dominan pada aspek niat dan orientasi yang terselubung. Oleh
karena itu disebut sebagai “al-khafiyy” (yang tersembunyi). Rasulullah
SAW mengilustrasikannya sebagai orang yang “salah niat”.[9] Dalam Ilustrasi lain
dinyatakan sebagai sesuatu yang lebih samar dari langkah seekorsemut hitam, di
atas batu karang hitam yang bisu.[10] Motivasi beramal yang
“hanya” berorientasi dunia samata juga dikecam oleh Rasulullah SAW dalam sabda
berikut ini:
تعس عبد الدينار وعبد الدرهم وعبد الخميصة إن أعطي رضي وإن لم يعط سخط
“Celakalah penghamba dinar. Celakalah penghamba dirham.
Celakalah penghamba khamishah jika ia diberi ia senang, tetapi jika
tidak diberi ia marah.”(HR Bukhari).
Khamishah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan
sulaman atau garis-garis yang menarik dan amat indah. Pesan moral dalam hadis
di atas ialah teguran keras terhadap orang-orang yang sangat ambisius dengan
kekayaan duniawi, sehingga ia terbelenggu dan menjadi penghamba harta benda. Mereka, tegas Nabi SAW, adalah berhak
untuk celaka dan sengsara.
Bandingkan dengan kisah
tiga orang yang diadili oleh Allah SWT; seorang qari’/intelek, seorang yang mati syahid dan
seorang dermawan. Ketiganya bangga dengan prestasi hidupnya masing-masing. Tapi
pada akhirnya, final kehidupan mereka mengenaskan : dicampakkan ke neraka!(HR
Muslim).[11]
Na’udzubillah.
Penafsiran KH Ahmad Dahlan
tersebut menarik untuk disandingkan dengan penafsiran Sayyid Qutb rahimahullah.
Gaya
redaksional yang sangat pada ayat tersebut, menurutnya, menggambarkan
satu ilustrasi yang aneh bagi jiwa manusia ketika jiwa itu meninggalkan asal
yang pasti, untuk
kemudian mengikuti hawa nafsu yang berubah-ubah. Hal itu terjadi
ketika ia menyembah hawa nafsunya, tunduk kepadanya, dan menjadikannya sebagai
sumber pola pandang, hukum, perasaan dan gerakannya. Juga menjadikannya sebagai
tuhan yang yang memiliki otoritas, yang menguasai dirinya, lalu menerima segala
isyarat yang diberikannya lalu ia taat, tuntuk dan menerimanya begitu saja.
Oleh karena itulah kemudian, gaya bahasa Al-Qur’an mengingkarinya dengan nada
penuh keheranan, “Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya...”
“Pernahkah kamu melihatnya?”, gugah Sayyid Qutb rahimahullah. “Ia
adalah sosok yang aneh yang pantas dianggap aneh!. Dan ia berhak disesatkan
oleh Allah SWT, dan tak memberikannya rahmat berupa petunjuk. Tak ada tempat
yang tersisa bagi petunjuk dalam hatinya, ketika ia mempertuhankan hawa
nafsunya yang sakit!”.
وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَة
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ [12]
Orang yang mempertuhankan
hawa nafsunya, dalam pandangan Sayyid Qutb rahimahullah, pantas untuk disesatkan.
Sesuai dengan Ilmu Allah yang Maha Benar. Ia tidak dihalangi untuk
memperturutkan segala kehendak hawa nafsunya, lalu ia dibiarkan dalam
kebutaannya. Tersumbatlah segala potensi jasadiah dan ruhiyahnya untuk
menangkap cahaya petunjuk Ilahi. Demikian pula potensi intelektual yang melekat
pada dirinya menjadi tumpul tak bermakna oleh karena ketaatan, ketundukan dan
penyerahan totalitas dirinya kepada hawa nafsu tersebut.[13]
Ilustrasi lebih unik tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya dapat dilihat
pada kisah Bal’am Ibnu Ba’ura sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu Katsir dala Tafsir
al-Qur’anil Adzhim. Bal’am adalah seorang sahabat dan kolega dekat Nabi Musa ‘alaihissalam,
yang dianugerahi oleh Allah SWT pemahaman ayat-ayatNya yang luar biasa. Ia
memiliki integritas moral dan intelektual yang sedemikian tinggi di tengah
masyarakat Nabi Musa saat itu. Ia sangat dihormati dan disegani. Oleh sebab itu
pula kemudian Nabi Musa alaihissalam memberikan kepercayaan kepadanya
untuk menyampaikan dakwah kepada Penguasa Madyan.
Penguasa Madyan sangat paham akan kapasitas dan integritas yang disandang
oleh Bal’am Ibnu Ba’ura. Tapi juga ia
sangat mengetahui bahwa Bal’am bukanlah
tergolong orang kaya. Dari sisi materi ia memiliki keterbatasan yang sangat nyata.
Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh penguasa Madyan untuk memperdayakannya.
Ia dipersilahkan untuk tinggal di istana dengan berbagai fasilitas hidup, yang
barangkali, belum ia rasakan sebelumnya. Apa yang terjadi? Hari demi hari, ia
terlelap dengan kemegahan dan keindahan hidup di tengah-tengah penggede istana.
Ia lupa menyampaikan dakwah yang telah diamanahkan oleh Nabi Musa alaihissalam.
Ekstremnya, ia pada akhirnya keluar dari ajaran Nabi Musa alaihissalam,
dan kemudian bergabung dengan penguasa Madyan untuk melawan dan memusuhi Nabi
Musa ‘alaihissalm. Hal inilah yang meletarbelakangi [sabab nuzul]
ayat ke 175-176 dari surat al-A’raf[14]. Ilustrasi unik,
digambarkan sebagai seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.Na’udzubillah. Lalu, Di mana posisi kita, dahulu,
sekarang dan di masa yang akan datang ?
[1] Selengkapnya ayat
tersebut berbunyi :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
[“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”]
[2] Abdullah
Ibn Abdul Muhsin Al-Turki (Isyraf), Al-Tafsir Al-Muyassar (Madinah
Munaawarah : Mujamma’ Al-Malik Fahd
Lithiba’ati Al-Mushhaf Al-Syarif, 1419), Cet. 1, hal. 501
[3] Al-Maktabah Al-Syamilah
[4] Ibid.
[5] “Jika sesorang mengawali hidupnya di
pagi hari maka berkumpullah tiga perkara; hawa nafsu, amal dan ilmunya. Jika
amalnya mengikuti hawa nafsu maka itulah hari amat buruk baginya. Adapun jika
amal mengikuti ilmunya, maka itulah hari yang sangat baik dan
menguntungkannya.”
[6] Katakanlah: "Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.
[7] Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat
cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).
[8]
KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 45-47
[9] سنن ابن ماجه
[ جزء 2 - صفحة
1406 ]
4204 - حدثنا عبد الله بن سعيد حدثنا أبو
خالد الأحمر عن كثير بن زيدس عن ربيح ابن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه
عن أبي سعيد قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نتذكر المسيح الدجال
. فقال: ( ألا أخبركم بما هو أخوف عليكم عندي من المسيح الدجال ؟ ) قال قلن بلى .
فقال ( الشرك الخفي أن يقوم الرجل يصلي فيزين صلاته لما يرى من نظر رجل ). في
الزوائد إسناده حسن . وكثير بن زيد وربيح بن عبد الرحمن مختلف فيهما . قال الشيخ الألباني
: حسن
[10] مسند أحمد بن حنبل [ جزء 4 -
صفحة 403 ]
19622 - حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله
بن نمير ثنا عبد الملك يعنى بن أبي سليمان العزرمي عن أبي علي رجل من بنى كاهل قال
خطبنا أبو موسى الأشعري فقال : يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب
النمل فقام إليه عبد الله بن حزن وقيس بن المضارب فقالا والله لتخرجن مما قلت أو
لنأتين عمر مأذون لنا أو غير مأذون قال بل أخرج مما قلت خطبنا رسول الله صلى الله
عليه وسلم ذات يوم فقال أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل فقال
له من شاء الله ان يقول وكيف نتقيه وهو أخفى من دبيب النمل يا رسول الله قال قولوا
اللهم انا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلم (تعليق شعيب
الأرنؤوط : إسناده ضعيف لجهالة أبي علي الكاهلي).
صحيح الترغيب والترهيب للألباني
[ جزء 1 - صفحة 9 ] 36 - ( حسن لغيره ) :عن أبي علي رجل من بني
كاهل قال :خطبنا أبو موسى الأشعري فقال :يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى
من دبيب النمل فقام إليه عبد الله بن حزن وقيس بن المضارب فقال : والله لتخرجن مما
قلت أو لنأتين عمر مأذونا لنا أو غير مأذون فقال : بل أخرج مما قلت خطبنا رسول
الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال :يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى
من دبيب النمل فقال له من شاء الله أن يقول وكيف نتقيه وهو أخفى من دبيب النمل يا
رسول الله قال قولوا اللهم إنا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا
نعلمه رواه أحمد والطبراني ورواته إلى أبي علي محتج بهم في الصحيح وأبو علي وثقه
ابن حبان ولم أر أحدا جرحه. (المكتبة الشاملة)
[11]
إن أول الناس
يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتى به فعرفه نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟
قال قاتلت فيك حتى استشهدت قال كذبت ولكنك قاتلت لأن يقال جريء فقد قيل ثم أمر به
فسحب على وجهه حتى ألقي في النار ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفه
نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟ قال تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن قال
كذبت ولكنك تعلمت العلم ليقال عالم وقرأت القرآن ليقال هو قارئ فقد قيل ثم أمر به
فسحب على وجهه حتى ألقي في النار ورجل وسع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كله
فأتى به فعرفه نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟ قال ما تركت من سبيل تحب أن ينفق
فيها إلا أنفقت فيها لك قال كذبت ولكنك فعلت ليقال هو جواد فقد قيل ثم أمر به فسحب
على وجهه ثم ألقي في النار
[12] “...Dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
[13] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani
Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 141-142
[14] وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ
مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ
عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang
yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al
Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti
oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang
sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Posting Komentar