Diberdayakan oleh Blogger.
ASRAMA UPTODATE
13.00
FIQIH DAKWAH (Pendekatan Tafsir Tematik)
Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Januari 25, 2013 | 13.00
Pendahuluan
Dakwah amar ma'ruf nahi munkar
secara praktis telah berlangsung sejak adanya interaksi antara Allah dengan
hamba-Nya (periode Nabi Adam AS), dan akan berakhir bersamaan dengan berakhimya
kehidupan di dunia ini. Pada awalnya Allah mengajar Nabi Adam AS nama-nama
benda, Allah melarang Nabi Adam mendekati pohon dan Allah memerintahkan para
malaikat sujud kepada Nabi Adam, semua Malaikat pada sujud kecuali Iblis, dia
enggan dan takabur. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di
bumi. Berdakwah, beramar makruf dan
bernahi munkar adalah salah satu fungsi strategis kekhalifahan manusia, fungsi
tersebut berjalan terus-menerus seiring dengan kompleksitas problematika
kehidupan manusia dari zaman ke- zaman,
dakwah tidak berada dalam sket masyarakat yang statis, tetapi berada
dalam sket masyarakat yang dinamis dan tantangan dakwah yang semakin luas dan
komplek, oleh karena itu peningkatan kualitas kompetensi muballigh harus secara
terus menerus dilakukan secara efektif.
Sehubungan dengan itu, memahami fiqih
dakwah salah satu proses mencapai kompetensi da’i, dan dalam makalah ini akan
diuraikan secara selayang pandang seputar pengertian dakwah, hakikat dakwah,
hukum dakwah, sistematika dakwah, dan garis-garis besar managemen dakwah.
Pengertian Dakwah
1. Secara Etimologi
Kata dakwah ( دعوة ) artinya: "do’a", "seruan ",
“panggilan”, "ajakan",
"undangan", "dorongan" dan "permintaan",
berakar dari kata kerja. " دعا “ yang berarti "berdo 'a", " memanggil, "'menyeru
", "mengundang", "mendorong", dan "mengadu".
Dakwah secara etimologis bebas nilai, artinya bisa mengajak
kepada kebaikan atau ke jalan Allah bisa
juga mengajak kepada kemungkaran, jalan syetan atau berbuat maksiat seperti apa
yang telah didramatisir oleh Zulaiha dengan mengajak Yusuf berbuat maksiat sebagaimana
Firman Allah SWT:
فَدَعَا
رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ
Artinya: “Maka dia mengadu kepada Tuhan-Nya, bahwasannya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh
sebab itu tolonglah aku”. [ Q.S.Al-Qamar/54.10]
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ وَيَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Artinya: “
Allah menyeru [manusia] ke- Darussalaam [Surga], dan memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus [Islam][Q.S. Yunus/10.25]
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو
إِلَى الْجَنَّةِ
…... Artinya: “ Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah SWT mengajak ke Surga “,,,,,. [Q.S.Al-Baqarah/2.221].
قَالَ
رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلا تَصْرِفْ
عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “
Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan
mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka,
tentu aku akan cenderung untuk [memenuhi keinginan mereka], dan tentulah aku
masuk orang-orang yang bodoh “.[Q.S.Yusuf/12.33].
2.
Secara Terminologi
Dakwah
adalah menyeru, mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam
sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad saw (sabilillah). Sebagaimana
Firman Allah Swt :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
Artinya :
"dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung." (QS Ali- Imran : 104). [1]1
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ Artinya:
“ Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu .......[Q.S.An-Nahl/16.125].
Hukum Dakwah
Jika min yang ada pada Surat Ali
Imaron ayat. 125 di atas [ minkum ] adalah min lil bayaniyah,
maka dakwah menjadi kewajiban bagi
setiap orang [ individual ] orang Islam, tetapi jika min dalam ayat tersebut adalah min littab ‘idhiyyah [
menyatakan untuk sebahagian ] maka dakwah menjadi kewajiban ummat secara
kolektif atau pardhu kifayah. Dua
pengertian tersebut dapat digunakan sekaligus.
Untuk hal-hal yang mampu
dilaksanakan secara individual, dakwah menjadi kewajiban setiap muslim [
fardhu ‘ain ] , sedangkan untuk hal-hal yang hanya mampu dilaksanakan secara
kolektif, maka dakwah menjadi kewajiban yang bersifat kolektif [ fardhu kifayah
]. Setiap muslim dan muslimat yang sudah
baligh wajib berdakwah, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara pasif dalam arti semua sikap dan
prilaku dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat
menjadi contoh dan tuntunan bagi masyarakat.
Kewajiban berdakwah bagi setiap
individu, selain dinyatakan dalam ayat tersebut di atas ditegaskan juga dalam Al-Qur’an,
dan pesan Rasulullah Saw pada waktu Haji Wada’, :
وَالْعَصْر1 إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ2 إِلا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ3ِ
Artinya: “ Demi
masa sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran
“.[Q.S. Al-‘Ashr/1-3].
فليبلغ الشا هد الغا ئب فاء نه رب مبلغ يبلغه لمن هو او عى له) رواه البخا رى(
“ ....maka hendaklah yang menyaksikan di
antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena boleh jadi yang hadir
itu menyampaikannya kepada orang ..”. [ H.R. Bukhari ][2].
Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda :
بلغو اعني ولو اية) رواه البخاري(
Artinya: ".....
sampaikanlah apa yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat..."
(HR Bukhari)[3]
Hakikat Dakwah:
Aktivitas dakwah pada hakikatnya suatu
proses mengadakan perubahan secara normatif sesuai
dengan Al-Qur’an, dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebagai contoh adalah perubahan dari beriman
kepada selain Allah SWT menjadi beriman Kepada Allah SWT, atau dari ideologi yang batil, sesat kepada
ideologi yang benar, dari kebodohan kepada kepintaran, dari kultur, dan
akhlaq yang sesat kepada kultur, dan akhlaq yang benar, dan mulia, dari malas
beribadah menjadi rajin beribadah, dari kehidupan yang bertentangan dengan
Islam menjadi berkehidupan yang Islami, dari tidak perduli pada agama menjadi
perduli dan semangat beragama dll.
Labels:
KONSULTASI AGAMA (TARJIH)
12.51
Mensucikan Jiwa Dalam Ajaran KH Ahmad Dahlan رَحمَهُ اللهُ Part 3
Kegelisahan Ruhiyah/Spiritual
KH Ahmad Dahlan
KHA Dahlan |
Namun demikian, KH Ahmad
Dahlan menjelaskan pula bahwa, asal mula kelahiran manusia adalah berdasarkan “fitrah”,
asal yang suci, murni dan bersih [bebas dari angkara murka dan kejahatan]. Lalu ia
dipangaruhi oleh hawa
nafsunya, orang tua, lingkungan pergaulan, guru, rumah tangga serta masyarakat
sekitarnya. Inilah proses yang pada akhirnya manusia tertawan oleh hawa
nafsunya sendiri.[1]
Penjelasan tersebut sesuai dengan hadis Nabi SAW berikut :
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ
إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ اْلفِطْرَةِ فَأَبـَوَاهُ يـُهَـوِّدَانِهِ أَوْ يُـنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُـنْتِجُ اْلبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Kalaulah, pada awal mulanya,
manusia terlahirkan dalam keadaan “fitrah” sebagaimana diterangkan di atas,
lalu mengalami pergeseran kepada keburukan, bahkan menyamai hewan yang tidak
memiliki potensi akal, mungkinkah mereka kembali kepada “fitrah” yang awal itu?
Jika memungkinkan, bagaimanakah
cara menuju kepada kesucian itu?
Dalam hemat pandangan kami,
inilah yang menjadi kegelisahan “ruhiyah” atau perenungan ”spiritual”
KH Ahmad Dahlan, yang menurut riwayat KHR Hadjid, menjadikan beliau masygul
merenungkannya siang dan malam. Tapi juga pada saat yang sama menjelma menjadi
kekuatan ruhiyah yang dahsyat,
menembus relung jiwanya yang terdalam serta membangkitkan kekuatan dan iradah
untuk beramal.
Tazkyatun Nufus Sebagai Metode Menemukan Kembali Fitrah
Yang Hilang
Setelah melakukan tafakkur,
muhasabah dan muraqabah akhirnya KH Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
untuk menemukan kembali fitrah yang hilang kita dituntut untuk melakukan pensucian
diri/jiwa (tazkyatun nufus). Hal ini dapat dilakukan dengan cara melawan
hawa nafsu kemudian hanya tunduk kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Inilah kunci
kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat. Takwa kepada Allah merupakan pangkal
segala kebaikan sebagaimana memperturutkan hawa nafsu menjadi pangkal segala
keburukan[2]
Menurut KH Ahmad Dahlan,
melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita masing-masing tidaklah dapat
dilakukan, kecuali dengan membuang jauh-jauh dari diri kita segala sesuatu yang
bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Sunnah. “Setelah kita mampu membersihkan diri dari khurafat, dapat membandingkan dalil-dalil sehingga dapat
mengerti Islam dengan sebenarnya, mengerti sunah-sunah Rasulullah SAW”, kata
beliau, “Belum tentu kita dapat menjalankan ajaran-ajaran al-Qur’an
jika hawa nafsu di dalam hati masih menjadi berhala.”
KH Ahmad Dahlan mengajarkan
dan mendidik kita untuk membuang segala kebiasaan yang ada dalam diri sendiri,
dalam rumah tangga dan masyarakat yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi SAW. Beliau juga
menegaskan perlunya melakukan muhasabah dalam segala sesuatu, baik itu
menyangkut perkara aqa’id, ikhlas karena Allah SWT maupun
perkara-perkara amaliah. Kebersihan jiwa akan terwujud bila kita mempu membuang
segala kebiasaan buruk itu.[3]
Penjelasan tersebut sepadan
dengan pernyataan Imam
Al-Ghazali. Kata beliau dalam kitabnya “Mengobati Penyakit Hati” :
“Mengobati
jiwa yang sakit adalah dengan jalan menghilangkan tabiat rendah dan
akhlaq-akhlaq buruk, serta mengisinya dengan keutamaan dan budi yang mulia.
Sama halnya dengan mengobati tubuh dari suatu penyakit dan menjadikan tubuh
sehat dan segar bugar…Setiap anak yang baru dilahirkan, ia pasti dalam keadaan
normal jiwanya, sehat fitrahnya serta masih murni dan bersih dari segala
pengaruh. Tetapi akhirnya kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi penganut
agama Yahudi, Nashrani, Majusi dan lain-lain. Ini tentu karena adanya hasil
kebiasaan, pendidikan, dan pengajaran atau pergaulan yang menyebabkan anak tadi
menjadi gemar melakukan sifat-sifat kerendahan dan bahkan tidak segan melakukannya.”[4]
Fluktuasi Jiwa dan Metode Tazkyatun
Nufus Menurut KH Ahmad Dahlan
Manusia bukanlah Malaikat,
sehingga ia terus menerus melakukan ketaatan. Bukan pula Syithan yang totalitas
kehidupannya dalam kemaksiatan
kepada Allah SWT. Manusia berada di antara daya tarik kedua makhluk tersebut.
Sudah menjadi ketentuan dan
kehendak Allah SWT yang azali [taqdir kawniy] bahwa manusia
dianugerahkan dua potensi
yang antagonis pada dirinya yang satu; potensi taqwa dan potensi fujur. Kedua potensi ini
terus dan selalu berkompetisi yang kemudian melahirkan fluktuasi keadaan jiwa
manusia. Tapi juga Allah SWT memberikan isyarat yang tegas bagaimana sebaiknya
manusia memenej potensi tersebut. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Syams ayat 7-10 :
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.[5]
Dalam berinteraksi dengan kedua potensi yang bertolak belakang tersebut
manusia secara garis besarnya akan mengalami tiga keadaan berikut ini; pertama,
jika Takwa lebih dominan daripada fujur kecenderungannya ialah dzikrullah[6] dan inilah
yang disebut Al-Nafs al-Muthma’innah[7]; kedua, Takwa
seimbang dengan fujur berorientasi kepada sikap mengutamakan akal[8]. Inilah Al-Nafs
al-Lawwâmah[9]; ketiga Al-Nafs
al-Ammârah bi al- Sû[10] yang merupakan
potret dominannya Fujur daripada takwa
dan berorientasi kepada syahwat, nafsu, hedonis[11]
Tidak satupun diantara kita
selamat dari fluktuasi tiga keadaan jiwa tersebut, kecuali dengan curahan
rahmat Allah SWT. Bahkan Nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam dengan tulus
mengakui betapa daya tarik nafsu/fujur itu sangat kuat. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam
ayat berikut ini :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي
غَفُورٌ رَحِيمٌ [12]
Wujud
rahmat Allah SWT kepada kita adalah diturunkannya syari’at
yang menata hubungan kita denganNya, interaksi sesama dan juga hubungan kita
dengan alam semesta ini. Dalam hemat penulis, sistem syariat
inilah yang dijadikan oleh KH Ahmad Dahlan sebagai titik tolak/munthalaq
dalam merumuskan metode dan jalan pensucian diri/jiwa, tazkyatun nufus. Allah
SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ
مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى. بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى [13]
Berdasarkan
ayat ini, KH Ahmad Dahlan merumuskan tiga metode, jalan pensucian jiwa (tazkyatun
nufus) yaitu; Dzikrullah,
Menunaikan shalat dan Mengingat kedahsyatan Al-Yaum al-Akhir [kehidupan akherat].[14]
1) Jalan pertama : Dzikrullah
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ
اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ [15]
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan makna ayat ini, “Belumkah datang saatnya agar hati orang-orang yang
beriman itu menjadi lembut ketika berdzikir dan medapatkan mau’idzah, juga ketika
mereka mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka memahaminya, atuh serta mentaatinya.”[16]
Abdullah ibn Mas’ud RA berkata :
ما كان بين
إسلامنا وبين أن عوتبنا بهذه الآية إلا أربع سنين (رواه مسلم)
KH Suprapto Ibnu
Juraimi, guru kita yang populer dengan rihlah dakwahnya, menerangkan
bahwa berdzikir dan bertasbih adalah bentuk amal shaleh yang merupakan saluran
dan jembatan dari nurani, dan ada beberapa amalan tersendiri yang mampu
menjembatani dan menyalurkan kita pada tingkatan yang lebih tinggi dan
tertinggi. Orang yang berhasrat sangat untuk menjadikan kalbunya bercahaya
terang, namun ia tidak memiliki wiridan atau dzikir, berarti ia tidak melakukan
usaha untuk mencapai tingkatan-tingkatan itu.[17]
Al-Imam Al-Ghazali
berkata :
“Ketahuilah bahwa
orang-orang yang memandang dengan cahaya bashirah mengetahui bahwa tidak
ada keselamatan kecuali (keselamatan) dalam pertemuan dengan Allah SWT. Tidak
ada jalan untuk bertemu denganNya kecuali kematian seorang hamba dalam keadaan
cinta kepadaNya, juga mengenal hakekatNya. Sungguh cinta dan keakraban takkan
tercapai kecuali dengan senantiasa tafakkur tentang berbagai ciptaan, sifat-Sifat
dan perbuatanNya. Di alam wujud ini,
yang ada hanyalah Allah SWT serta perbuatan-perbuatanNya. Kita tak kan dapat
berdzikir dan tafakkur kecuali dengan berpisah dari syahwat-syahwat dunia, dan
mengambil darinya sebatas keperluan saja. Semua itu tak kan juga tercapai
kecuali dengan meluangkan sebagian waktu malam dan siang untuk menunaikan dzikrullah.”[18]
Dzikir menurut KH
Ahmad Dahlan dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut; mengingat dan
menghayati sifat-sifat Allah yang agung (asma’ wa shifat); mengingat dan tafakkur terhadap ayat-ayat Allah
SWT; mengingat dan mensyukuri segala nikmat Allah SWT; menyebut Asma’ dan shifat
Allah SWT dengan lisan; dzikir dengan qalbu : dzikir kepada Allah SWT dengan
sungguh-sungguh, melupakan segala sesuatu selain dariNya, sehingga seolah-olah
kita melihatNya; dzikir kepada Allah SWT dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring
di segala tempat dan waktu; memulai aktifitas : بسم الله
الرحمن الرحيم ; dalam
menghadapi kesulitan menyebut tahlil : لاإله إلا الله; menerima kenikmatan
Allah dengan menyebut : الشكر لله; melihat sesuatu yang
haram : سبحان الله;
ketika berbuat dosa : أستغــفرالله; ketika mendapatkan
musibah : إنا لله وإنا إليه راجعون / حسبنا الله
ونعم الوكيل; ingat akan qadla dan qadar Allah SWT :
توكلت على الله ; terhadap ajakan taat atau godaan maksiat : لاحول ولا قوة
إلا بالله
Selain dari
beberapa macam dzikir tersebut, dapat pula melakukan pembacaan wirid yang telah
ditulis oleh para ulama terkemuka yang berdasarkan pada hadis-hadis yang
shahih/maqbul. KRH Hadjid meriwayatkan bahwa KH Ahmad Dahlan seringkali
mengajarkan do’a-do’a dan wirid kepada murid-muridnya.
[1] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 45-47
[2] Ibid…hal. 48
[3] Ibid…hal. 48-51
[4] Imam Al-Ghazali, Mengobati Penyakit
Hati, Terjemah : Ahmad Sunarto [Jakarta :
Pustaka Amani, 1995] Cet. Ke-1, hal.33
[5] Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
[6] Surat
Ali Imran : 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
[7] [Surat Al-Fajr : 27-30] يَاأَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً.
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي
[8] [Al-Baqarah : 9 ] يُخَادِعُونَ
اللَّهَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا
يَشْعُرُونَ
[9] [Al-Qiyamah :2] وَلَا أُقْسِمُ
بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَة ِ
[10][Yusuf
:53] إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ
بِالسُّوءِ
[11] زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ(آل عمران : 14) فَخَلَفَ
مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا(مريم:59)
[12] “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Yusuf : 53]
[13] “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia
sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la : 14-17]
[14] KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : …
hal. 52-60
[15] Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti
orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian
berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(Al-Hadid : 16)
[16] Ibnu
Katsir, Tafsir Al-Qur’a Al-‘Adzim,
IV/311
[17] Ibnu
Juraimi, “Optimalisasi Masjid Sebagai Pusat Kegiatan Dakwah” dalam, Dakwah
Islam Kontemporer; Tantangan dan Harapan (Yogyakarta: MTDK-PPM, 2004) Cet.
1, hal. 204
[18] Sa’id Hawa, Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali; Mensucikan Jiwa, Terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid (Jakarta : Robbani Press, 2000),
Cet. Ke-3, hal. 100
Labels:
ARTIKEL NEWS
12.47
Mensucikan Jiwa Dalam Ajaran KH Ahmad Dahlan رَحمَهُ اللهُ Part 2
Munthalaq (start
point) : Tafsir Surat Al-Jâtsiyah Ayat 23
KHA Dahlan |
Sebagai murid yang baik, yang tidak ingin kehilangan kilauan mutiara
kehidupan gurunya, KHR Hadjid selalu menyelidiki apa yang menjadi pikiran dan
renungan serta membuat masygul KH Ahmad Dahlan siang dan malam. Sampai pada suatu ketika beliau menemukan
papan tulis kecil di atas meja sang guru. Di sana tertulis
petikan al-Qur’an, surat al-Jatsyah
ayat 23 berikut ini :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ[1]
Tim Ulama yang menyusun Al-Tafsir
Al-Muyassar menyatakan, ayat tersebut mengandung pesan utama agar orang-orang mukmin waspada jika
hawa nafsu menjadi pendorong atau motivator mereka dalam beramal dan berkarya.[2]Menurut
Al-Imam Al-Thabari, ayat tersebut menjelaskan orang-orang yang menjalankan
agamanya dengan hawa nafsu. Ia tidak beriman dengan Allah SWT, tidak pula
menghalalkan ataupun mengharamkan sesuatu berdasarkan ajaranNya; hawa nafsu
oriented. Sehingga dapat ditegaskan bahwa orang seperti ini menjadikan hawa
nafsu sebagai agamanya.[3] Hal
senada dinyatakan oleh Ibnu Abbas, Hasan dan Qatadah radliallahu ‘anhum,
sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an. Sementara
‘Ikrimah radliallah ‘anhu berpendapat, ayat tersebut mengisyaratkan
orang yang menyembah sesuatu sesukanya, atau yang dianggap baik. Abu Darda’radliallah
‘anhu berkata[4],
إذا أصبح الرجل اجتمع هواه وعمله وعلمه فإن كان عمله تبعا لهواه فيومه يوم سوء
وإن كان عمله تبعا لعلمه فيومه يوم صالح[5]
Demikianlah makna firman Allah SWT dalam Al-Jatsiyah : 23 yang dikemukakan
oleh sebagian mufassir terkemuka. Menurut penulis, masih diperlukan penafsiran
yang lebih ‘tajam’ dan ‘menukik’ untuk membangkitkan spirit dan
ruhiyah kita. Barangkali di sinilah letak ketajaman makna ayat tersebut dalam
pandangan KH Ahmad Dahlan. Menurutnya, ayat
tersebut mengandung makna dan ajaran sebagai berikut :
1)
Kita dilarang untuk menghambakan diri kepada siapapun
atau benda apapun jua, kecuali kepada Allah SWT. Orang yang menghambakan diri
kepada hawa nafsunya, mengerjakan apa saja yang menjadi dorongan hawa nafsunya
dapat dikategorikan sebagai musyrik. Kaum musyrikin menyembah berhala
karena taqlid buta kepada orang tua dan nenek moyang mereka. Ini bermakna
mereka menjadi hamba dari hawa nafsunya, patuh mengikuti perilaku kebiasaan
yang menyimpang dalam lingkungan dan masyarakat mereka.
2)
Siapa saja yang tunduk/taat dan berbuat mengikuti
kebiasaan yang bertentangan dengan hukum Allah SWT juga dapat disebut sebagai
penyembah hawa nafsu. Karena jelas, kita tidak diperbolehkan secara syar’iy untuk mencintai
siapapun jua di atas cinta kasih kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal sedemikian
ditegaskan pula oleh Allah SWT dalam surat al-Taubah ayat 24 :
قُلْ إِنْ كَانَ
ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ
وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ
تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي
سَبِيلِهِ
فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ [6]
Juga dalam surat
al-Baqarah : 165
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا
يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ
لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ [7]
3)
Berhala
hawa nafsu merupakan pokok berhala yang menyesatkan. Pengaruhnya
sedemikian kuat dan merajalela. Hawa nafsu mematikan kemampuan dan potensi manusia untuk
membedakan antara al-Haqq dan al-Bathil. Bahkan manusia bertabiat
sebagai hewan karena terjajah oleh hawa nafsu tersebut. Dalam pemenuhan cinta
terhadap hawa nafsunya, manusia seringkali lupa akan akibat dan malapetaka yang
ditimbulkannya, lupa akan akibat-akibat buruknya. Manusia berbuat semaunya,
mengabaikan tatanan etis dan moral. Inilah yang kemudian melahirkan kekacauan,
kerusakan dan kerugian kepada dirinya sendiri, masyarakat dan negaranya.[8]
Dalam berinteraksi dengan hawa nafsu, yang seringkali menjadi abstrak di
hadapan kita sehingga kita kehilangan stamina untuk menatanya, KH Ahmad Dahlan
secara tegas mengidentifikasikannya sebagai “musyrik” !. Sebagian di antara kita
mungkin akan berkomentar, “ekstrem” (?).
Perlu dicatat, umat Islam, pada umumnya, sangat familiar dengan dua jenis
syirik; akbar dan ashghar. Mereka, atau juga kita, kurang akrab
dengan jenis syirik yang satu ini; al-syirk al-khafiyy. Syirik jenis
terakhir ini lebih dominan pada aspek niat dan orientasi yang terselubung. Oleh
karena itu disebut sebagai “al-khafiyy” (yang tersembunyi). Rasulullah
SAW mengilustrasikannya sebagai orang yang “salah niat”.[9] Dalam Ilustrasi lain
dinyatakan sebagai sesuatu yang lebih samar dari langkah seekorsemut hitam, di
atas batu karang hitam yang bisu.[10] Motivasi beramal yang
“hanya” berorientasi dunia samata juga dikecam oleh Rasulullah SAW dalam sabda
berikut ini:
تعس عبد الدينار وعبد الدرهم وعبد الخميصة إن أعطي رضي وإن لم يعط سخط
“Celakalah penghamba dinar. Celakalah penghamba dirham.
Celakalah penghamba khamishah jika ia diberi ia senang, tetapi jika
tidak diberi ia marah.”(HR Bukhari).
Khamishah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan
sulaman atau garis-garis yang menarik dan amat indah. Pesan moral dalam hadis
di atas ialah teguran keras terhadap orang-orang yang sangat ambisius dengan
kekayaan duniawi, sehingga ia terbelenggu dan menjadi penghamba harta benda. Mereka, tegas Nabi SAW, adalah berhak
untuk celaka dan sengsara.
Bandingkan dengan kisah
tiga orang yang diadili oleh Allah SWT; seorang qari’/intelek, seorang yang mati syahid dan
seorang dermawan. Ketiganya bangga dengan prestasi hidupnya masing-masing. Tapi
pada akhirnya, final kehidupan mereka mengenaskan : dicampakkan ke neraka!(HR
Muslim).[11]
Na’udzubillah.
Penafsiran KH Ahmad Dahlan
tersebut menarik untuk disandingkan dengan penafsiran Sayyid Qutb rahimahullah.
Gaya
redaksional yang sangat pada ayat tersebut, menurutnya, menggambarkan
satu ilustrasi yang aneh bagi jiwa manusia ketika jiwa itu meninggalkan asal
yang pasti, untuk
kemudian mengikuti hawa nafsu yang berubah-ubah. Hal itu terjadi
ketika ia menyembah hawa nafsunya, tunduk kepadanya, dan menjadikannya sebagai
sumber pola pandang, hukum, perasaan dan gerakannya. Juga menjadikannya sebagai
tuhan yang yang memiliki otoritas, yang menguasai dirinya, lalu menerima segala
isyarat yang diberikannya lalu ia taat, tuntuk dan menerimanya begitu saja.
Oleh karena itulah kemudian, gaya bahasa Al-Qur’an mengingkarinya dengan nada
penuh keheranan, “Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya...”
“Pernahkah kamu melihatnya?”, gugah Sayyid Qutb rahimahullah. “Ia
adalah sosok yang aneh yang pantas dianggap aneh!. Dan ia berhak disesatkan
oleh Allah SWT, dan tak memberikannya rahmat berupa petunjuk. Tak ada tempat
yang tersisa bagi petunjuk dalam hatinya, ketika ia mempertuhankan hawa
nafsunya yang sakit!”.
وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَة
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ [12]
Orang yang mempertuhankan
hawa nafsunya, dalam pandangan Sayyid Qutb rahimahullah, pantas untuk disesatkan.
Sesuai dengan Ilmu Allah yang Maha Benar. Ia tidak dihalangi untuk
memperturutkan segala kehendak hawa nafsunya, lalu ia dibiarkan dalam
kebutaannya. Tersumbatlah segala potensi jasadiah dan ruhiyahnya untuk
menangkap cahaya petunjuk Ilahi. Demikian pula potensi intelektual yang melekat
pada dirinya menjadi tumpul tak bermakna oleh karena ketaatan, ketundukan dan
penyerahan totalitas dirinya kepada hawa nafsu tersebut.[13]
Ilustrasi lebih unik tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya dapat dilihat
pada kisah Bal’am Ibnu Ba’ura sebagaimana diterangkan oleh Imam Ibnu Katsir dala Tafsir
al-Qur’anil Adzhim. Bal’am adalah seorang sahabat dan kolega dekat Nabi Musa ‘alaihissalam,
yang dianugerahi oleh Allah SWT pemahaman ayat-ayatNya yang luar biasa. Ia
memiliki integritas moral dan intelektual yang sedemikian tinggi di tengah
masyarakat Nabi Musa saat itu. Ia sangat dihormati dan disegani. Oleh sebab itu
pula kemudian Nabi Musa alaihissalam memberikan kepercayaan kepadanya
untuk menyampaikan dakwah kepada Penguasa Madyan.
Penguasa Madyan sangat paham akan kapasitas dan integritas yang disandang
oleh Bal’am Ibnu Ba’ura. Tapi juga ia
sangat mengetahui bahwa Bal’am bukanlah
tergolong orang kaya. Dari sisi materi ia memiliki keterbatasan yang sangat nyata.
Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh penguasa Madyan untuk memperdayakannya.
Ia dipersilahkan untuk tinggal di istana dengan berbagai fasilitas hidup, yang
barangkali, belum ia rasakan sebelumnya. Apa yang terjadi? Hari demi hari, ia
terlelap dengan kemegahan dan keindahan hidup di tengah-tengah penggede istana.
Ia lupa menyampaikan dakwah yang telah diamanahkan oleh Nabi Musa alaihissalam.
Ekstremnya, ia pada akhirnya keluar dari ajaran Nabi Musa alaihissalam,
dan kemudian bergabung dengan penguasa Madyan untuk melawan dan memusuhi Nabi
Musa ‘alaihissalm. Hal inilah yang meletarbelakangi [sabab nuzul]
ayat ke 175-176 dari surat al-A’raf[14]. Ilustrasi unik,
digambarkan sebagai seekor anjing yang selalu menjulurkan lidahnya.Na’udzubillah. Lalu, Di mana posisi kita, dahulu,
sekarang dan di masa yang akan datang ?
[1] Selengkapnya ayat
tersebut berbunyi :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى
عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً
فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
[“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan
atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”]
[2] Abdullah
Ibn Abdul Muhsin Al-Turki (Isyraf), Al-Tafsir Al-Muyassar (Madinah
Munaawarah : Mujamma’ Al-Malik Fahd
Lithiba’ati Al-Mushhaf Al-Syarif, 1419), Cet. 1, hal. 501
[3] Al-Maktabah Al-Syamilah
[4] Ibid.
[5] “Jika sesorang mengawali hidupnya di
pagi hari maka berkumpullah tiga perkara; hawa nafsu, amal dan ilmunya. Jika
amalnya mengikuti hawa nafsu maka itulah hari amat buruk baginya. Adapun jika
amal mengikuti ilmunya, maka itulah hari yang sangat baik dan
menguntungkannya.”
[6] Katakanlah: "Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.
[7] Dan di antara manusia ada orang-orang
yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat
cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).
[8]
KRH Hadjid, Pelajaran KHA Dahlan : … hal. 45-47
[9] سنن ابن ماجه
[ جزء 2 - صفحة
1406 ]
4204 - حدثنا عبد الله بن سعيد حدثنا أبو
خالد الأحمر عن كثير بن زيدس عن ربيح ابن عبد الرحمن بن أبي سعيد الخدري عن أبيه
عن أبي سعيد قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نتذكر المسيح الدجال
. فقال: ( ألا أخبركم بما هو أخوف عليكم عندي من المسيح الدجال ؟ ) قال قلن بلى .
فقال ( الشرك الخفي أن يقوم الرجل يصلي فيزين صلاته لما يرى من نظر رجل ). في
الزوائد إسناده حسن . وكثير بن زيد وربيح بن عبد الرحمن مختلف فيهما . قال الشيخ الألباني
: حسن
[10] مسند أحمد بن حنبل [ جزء 4 -
صفحة 403 ]
19622 - حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عبد الله
بن نمير ثنا عبد الملك يعنى بن أبي سليمان العزرمي عن أبي علي رجل من بنى كاهل قال
خطبنا أبو موسى الأشعري فقال : يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب
النمل فقام إليه عبد الله بن حزن وقيس بن المضارب فقالا والله لتخرجن مما قلت أو
لنأتين عمر مأذون لنا أو غير مأذون قال بل أخرج مما قلت خطبنا رسول الله صلى الله
عليه وسلم ذات يوم فقال أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى من دبيب النمل فقال
له من شاء الله ان يقول وكيف نتقيه وهو أخفى من دبيب النمل يا رسول الله قال قولوا
اللهم انا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا نعلم (تعليق شعيب
الأرنؤوط : إسناده ضعيف لجهالة أبي علي الكاهلي).
صحيح الترغيب والترهيب للألباني
[ جزء 1 - صفحة 9 ] 36 - ( حسن لغيره ) :عن أبي علي رجل من بني
كاهل قال :خطبنا أبو موسى الأشعري فقال :يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى
من دبيب النمل فقام إليه عبد الله بن حزن وقيس بن المضارب فقال : والله لتخرجن مما
قلت أو لنأتين عمر مأذونا لنا أو غير مأذون فقال : بل أخرج مما قلت خطبنا رسول
الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال :يا أيها الناس اتقوا هذا الشرك فإنه أخفى
من دبيب النمل فقال له من شاء الله أن يقول وكيف نتقيه وهو أخفى من دبيب النمل يا
رسول الله قال قولوا اللهم إنا نعوذ بك من أن نشرك بك شيئا نعلمه ونستغفرك لما لا
نعلمه رواه أحمد والطبراني ورواته إلى أبي علي محتج بهم في الصحيح وأبو علي وثقه
ابن حبان ولم أر أحدا جرحه. (المكتبة الشاملة)
[11]
إن أول الناس
يقضى يوم القيامة عليه رجل استشهد فأتى به فعرفه نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟
قال قاتلت فيك حتى استشهدت قال كذبت ولكنك قاتلت لأن يقال جريء فقد قيل ثم أمر به
فسحب على وجهه حتى ألقي في النار ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفه
نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟ قال تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن قال
كذبت ولكنك تعلمت العلم ليقال عالم وقرأت القرآن ليقال هو قارئ فقد قيل ثم أمر به
فسحب على وجهه حتى ألقي في النار ورجل وسع الله عليه وأعطاه من أصناف المال كله
فأتى به فعرفه نعمه فعرفها قال فما عملت فيها ؟ قال ما تركت من سبيل تحب أن ينفق
فيها إلا أنفقت فيها لك قال كذبت ولكنك فعلت ليقال هو جواد فقد قيل ثم أمر به فسحب
على وجهه ثم ألقي في النار
[12] “...Dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
[13] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Di Bawah Naungan Al-Qur’ani, Terj. As’ad Yasin dkk. (Jakarta : Gema Insani
Press, 1425 H), Cet. Pertama, hal. 141-142
[14] وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ
مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى
الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ
عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang
yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al
Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti
oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang
sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Labels:
ARTIKEL NEWS,
KONSULTASI AGAMA (TARJIH)