Diberdayakan oleh Blogger.
ASRAMA UPTODATE
20.58
MUSIM HUJAN YANG DINANTI BANYAK ORANG
Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Oktober 25, 2012 | 20.58
HUJAN
ilustrasi hujan deras |
Bagi Kang Karmin, hujan merupakan karunia Tuhan yang
tidak terhingga. Dalam doanya ia selalu berharap musim hujan akan lebih panjang
dari kemarau. Wajarlah kalau Kang Karmin menginginkan begitu, sebab ia hanyalah
petani tadah hujan. Sawahnya hanya sepetak di lereng gunung, di areal hutan
jati milik Perhutani yang telah gundul. Pantasnya mungkin bukan sawah tapi
tegalan. Ketika turun lapangan, kami mendapati hampir semua warga desanya mengatakan
bahwa problem utama saat kemarau adalah air. Membuat sumur terlalu mahal bagi
mereka karena kedalamannya bisa puluhan meter. Itupun belum tentu sumber airnya
besar. Mengandalkan kali yang melintasi desa mereka juga tidak bisa, sebab
semuanya pada kering. "Satu-satunya yang bisa diharapkan ya hujan
mas" kata Kang Karmin saat itu.
Sekaranglah musim yang dinantikan oleh Kang Karmin dan
para tetangganya. Dalam hatinya terbetik kesempatan di mana ia bisa menanami
tegalnya dan memberi minum sapi-sapi piarannya dengan leluasa. Tetapi bapak
tiga anak ini mungkin tidak pernah menyangka kalau hujan yang turun saat ini demikian
padat dan disertai angin kencang.
Menurut ramalan cuaca, itu adalah siklus dua lima
tahunan, akibat dari badai yang terjadi di Australia. Kang Karmin lagi-lagi
juga tidak bisa bercocok tanam. Rembesan air dari atas gunung demikian deras tidak
bisa dibendung, karena hutan pelindung yang berfungsi sebagai penyerap air tidak
ada lagi. Yang terjadi adalah banjir bandang disertai tanah longsor. Kang
karmin dan para tetangganya sekarang sibuk menyelamatkan keluarga, mengungsi ke
tempat yang lebih aman. Ia hanya menunggu bencana ini kan cepat berlalu.
"Kalau alam sudah bicara, apalah kuasa kita?" katanya setengah putus
asa.
Terkadang ia ingin menghujat nasib. Mengapa ia yang telah
miskin kok justru harus menanggung bencana begini? Tetapi ia teringat Kyai
Shobirin di musholla pernah mengajarinya tentang prasangka baik pada Tuhan.
"Min" kata pak Kyai, "hidup ini akan
berjalan seperti apa yang kita gambarkan dalam pikirkan kita"
"Nyuwun sewu, Kyai. Apa maksudnya?" sela
Kang Karmin
"Kalo hidup ini kita bayangkan enak, maka insyaallah
apa yang kita alami akan enak".
"Pangapunten, Kyai. Saya belum
mengerti".
"Begini, Min" jelas pak Kyai, "hidup ini
kan ada yang mengatur yaitu Gusti Allah. Dan Dia mengatur hidup ini seperti
yang dipikirkan oleh hamba-Nya. Kalau si hamba berpikiran positif terhadap
Tuhan dan hidup ini, ya.. insyaallah hidupnya akan berjalan positif,
begitu juga sebaliknya.."
"Jadi… kalau
kita berpikiran Gusti Allah itu baik, maka kesengsaraan yang kita alami itu
akan terasakan sebagai wujud kebaikan-Nya, begitu Kyai?"
"Minimal, rasa sakit akibat kesengsaraan tadi tidak
menjadikan kita putus asa"
"Sekarang saya paham, Kyai" kepala Kang Karmin
sambil mantuk-mantuk
"Hidup ini tergantung bagaimana kita menyikapinya,
Min" lanjut Kyai desa ini, "dan sikap itu terbentuk dari kualitas
cara pandang kita terhadap Tuhan: positifkah atau negatif. Dan begitulah
jadinya… karena Tuhan sendiri pernah bicara: Aku seperti apa yang disangkakan
hamba-Ku kepada-Ku…"
Tiba-tiba Kang Karmin tersadarkan dari lamunannya oleh
suara gaduh dua anaknya yang berebut sebungkus nasi hingga tumpah berceceran.
Bu Karmin memarahi keduanya sambil mengingatkan pentingnya sebungkus nasi di
pengungsian. Kang Karmin bangkit dari duduk karena tertarik pada photo di koran
pembungkus nasi. Dipungut dan dengan kemampuan yang terbatas ia membacanya.
Dari situ tahulah dia bahwa kejadian yang dialami sekarang ini juga menimpa
penduduk yang lain, di desa yang lain, di daerah yang lain, di belahan
Indonesia yang lain. Semuanya tersapu banjir bandang atau tertimbun tanah
longsor.
Tragisnya, ternyata peristiwa seperti ini sudah menjadi
rutinitas tahunan. Langganan di musim hujan. Dan semuanya tidak bisa (atau
pantasnya: tidak mau) berbuat apa-apa. Pemerintah sibuk sendiri dengan kekuasaan
dan birokrasinya yang mbulet, hingga tidak sempat (menyempatkan diri) untuk
merencanakan penanggulangan banjir sebelum musim hujan tiba. Mereka cenderung
menyalahkan terjadinya deforestasi (penggundulan hutan) tanpa pernah berhasil
menangkap pelakunya, apalagi melakukan reboisasi. Wakil rakyat sibuk sendiri
dengan kepentingan politik-ekonominya, hingga tidak lagi sensitif dengan
kesejahteraan dan keselamatan pemilihnya. Tokoh dan gerakan keagamaan hanya
mampu menunjukkan agama sebagai jalan kesabaran yang pasif tanpa pernah menjadikannya
sebagai sumber aksi kongkret pemberdayaan masyarakat dalam mengantisipasi
bencana langganan ini. Semuanya mandul. Karena ternyata dalam rutinitas musim
hujan ini semuanya telah terbenam dalam fatalisme yang diciptakannya
sendiri.
Kang Karmin jadinya merasa bersalah telah mengharap hujan
turun lebih lama. "Kalaulah tahu begini banyak orang sengsara, saya
mungkin tidak akan begitu getol meminta hujan!" katanya lugu. Tetapi, pantaskah
Kang Karmin merasa bersalah? Tentu ia tidak pantas merasa begitu karena ia
bukanlah termasuk orang yang menggunduli hutan di desanya, walaupun polisi
hutan sering menuduh warga desa sebagai pelakunya. Begitulah kearifan orang
desa yang teramat jauh untuk dimiliki oleh kita yang telah berkubang dalam
materialisme dan hedonisme. Dalam kesengsaraannya, Kang Karmin masih mampu
menunjukkan empatinya pada orang lain.[]
Labels:
CERITA INSPIRATIF
11.01
MENYELAMI MAKNA QURBAN
Hewan Ternak yang siap dikorbankan |
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik"
Idul Adha merupakan hari besar umat Islam setelah Idul Fitri, pada hari
tersebut umat Islam sedunia mengumandangkan takbir mengakui akan
kebesaran Tuhan yang telah menciptakan alam, manusia dan segala isinya.
Idul Adha yang dirayakan setiap tahun, pastinya akan mengingatkan pada
seseorang yang mempunyai keimanan yang luar biasa, penyabar dan
senantiasa bertawakkal secara total kepada Allah Swt, sosok itu adalah
Nabi Ibrahim As, bapak agama monotheisme yang selalu dijunjung
tinggi oleh agama Islam, Yahudi dan Nasrani. Ibrahim As hidup di
tengah-tengah masyarakat yang menyembah patung dan berhala, di tengah
kondisi budaya masyarakat seperti itu, Ibrahim As dengan akal sehatnya
senantiasa berusaha mencari hakekat kebenaran dengan melakukan berbagai
renungan dan refleksi terhadap budaya yang ada di sekitarnya, dia sama
sekali keluar dari pengaruh cara berfikir masyarakat kala itu.
Dalam proses pencarian kebenaran tersebut, Ibrahim As sampailah pada
titik keyakinan yang benar bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa, Maha Esa,
Maha Tak Terhingga, Dia lah Tuhan yang telah menciptakan alam ini
beserta segala isinya sekaligus mengaturnya, dan tentu saja secara tidak
langsung telah menasakh (menghapus) keyakinan atas berhala-berhala yang sedang disembah oleh bapak dan masyarakatnya saat itu.
Hal tersebut terekam dalam firmannya dalam Surah Al An’am ayat 74 – 79:
dan
(ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah
kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku
melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” dan Demikianlah
Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (kami yang
terdapat) di langit dan bumi dan (kami memperlihatkannya) agar Dia
Termasuk orang yang yakin. ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah
bintang (lalu) Dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu
tenggelam Dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”
kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: “Inilah Tuhanku”.
tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: “Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang
yang sesat.” kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata:
“Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu
terbenam, Dia berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
tuhan.
Nabi Ibrahim As telah meletakkan landasan-landasan agama yang
mengesakan Tuhan (kebenaran yang hakiki), karenanya ditegaskan oleh
Alquran, bahwa Ibrahim As bukanlah seorang Yahudi, dan bukan pula
seorang Nasrani, tetapi Ibrahim As adalah orang yang hanif (lurus) dan dia juga seorang muslim
(yakni orang yang senantiasa pasrah menyerahkan dirinya kepada Tuhan)
dan yang terpenting bahwa Ibrahim As bukanlah seorang yang musyrik.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah Ali Imran ayat 67:
Ibrahim
bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia
adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik.
Hari Raya Idul Adha selain disebut sebagai Hari Raya Haji juga dikenal
dengan Hari Raya Qurban. Ibadah Qurban bermula ketika Allah Swt
memerintahkan kepada Nabi Ibrahim As melalui mimpi untuk menyembelih
putera kesayangannya Ismail yang diceritakan dalam surah Ash Shaffat
ayat 100 – 111 sebagai berikut:
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk
orang-orang yang saleh. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang
anak yang Amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan
Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi
Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (yaitu)
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi
Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia Termasuk
hamba-hamba Kami yang beriman.
Ujian yang sangat berat tersebut pun sanggup dilalui oleh Ibrahim As
dengan penuh kepasrahan demi kecintaannya kepada Allah Swt. Ibrahim As
telah berani berjihad guna melawan kemauan dan egoisme diri, yang sering
kali menguasai setiap hati manusia. Di tengah-tengah kepasrahan Nabi
Ibrahim As untuk menyembelih putra idamannya tersebut, Allah Swt pun
mengutus Malaikat-Nya turun ke bumi untuk menggantikan Ismail yang akan
disembelih dengan domba sembelihan. Kemudian dari cerita dan peristiwa
yang dialami Ibrahim As tersebut tradisi qurban terus menerus dilakukan
hingga zaman sekarang.
Dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim As untuk menyembelih anaknya,
Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat
seorang Nabi yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk
mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan
simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan
seorang Ibrahim As pada titah sang pencipta.
Qurban secara simbolik wujudnya adalah berupa hewan sembelihan yang
dipersembahkan kepada Tuhan. Tetapi sesungguhnya, yang sampai kepada
Allah Swt bukanlah daging dan darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya
hanyalah ketaqwaan. Allah Swt berfirman dalam surah Al Hajj ayat 37 :
Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah
Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah
terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.
Dengan demikian, yang harus diqurbankan atau disembelih adalah
sifat-sifat kebinatangan sebagai lambang ketaatan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Qurban bukan pula untuk “mengambil hati” yang Maha
Kuasa, Allah Swt tidak pernah tergantung dengan hamba-Nya, karena itu
Allah Swt tidak pernah mengharapkan akan darah dan daging hewan qurban
tersebut, tetapi yang dinilai adalah ketaatan, rasa syukur dan
keikhlasan untuk berqurban dan membagi harta dengan orang yang
memerlukan salah satunya lewat pembagian daging hewan qurban. Senada
dengan hal tersebut Ali Syari’ati (1997), mengemukakan bahwa ritual
qurban bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada
Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama
mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Dengan berqurban, kita mendekatkan diri kepada mereka yang fakir. Bila
Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib berbagi kenikmatan itu dengan orang
lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa lapar seperti mereka yang
miskin. Ibadah qurban mengajak mereka yang mustadh’afiin untuk merasakan
kenyang seperti Anda. Atas dasar spirit itu, peringatan Idul Adha dan
ritus qurban memiliki tiga makna penting sekaligus.
Pertama, makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik.
Qurban adalah simbol penyerahan diri manusia secara utuh kepada sang
pencipta, sekalipun dalam bentuk pengurbanan seorang anak yang sangat
kita kasihi. Kedua, makna sosial, di mana Rasulullah melarang
kaum mukmin mendekati orang-orang yang memiliki kelebihan rezeki, akan
tetapi tidak menunaikan perintah qurban. Dalam konteks itu, Nabi
bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan solidaritas tinggi
terhadap sesama. Qurban adalah media ritual, selain zakat, infak, dan
sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan
sosial itu. Ketiga, makna bahwa apa yang diqurbankan merupakan
simbol dari sifat tamak dan kebinatangan yang ada dalam diri manusia
seperti rakus, ambisius, suka menindas dan menyerang, cenderung tidak
menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju hidup yang hakiki.
Penutup
Pesan Idul Adha (Qurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas). Pertama,
semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras,
suku atau keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai
ketauhidan itu, terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan
manusia lainnya atas nama apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat
diletakkan dalam konteks penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
sikap adil, toleran, dan saling mengasihi tanpa dilatarbelakangi
kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu sendiri. Dalam
kesehariannya, spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama
Islam, dalam banyak kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah.
Seakan-akan agama hanya media bagi individu untuk berkomunikasi dengan
Tuhannya saja, yang terlepas dari kewajiban sosial-kemanusiaan.
Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal tersebut, pada
akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi
kemanusiaan di tengah-tengah kita.
sumber http://kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-menyelami-makna-qurban-detail-300.html
Labels:
Artikel
10.37
Kisah Nabi Musa dengan Seorang Pezina
Pada
suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung.
Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang
mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka
atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan
roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah
meruyak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi
Musa a.s. Diketuknya pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka
terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk".
Perempuan cantik itu
lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk.
Air matanya berderai
tatkala ia Berkata,
"Wahai
Nabi Allah. Tolonglah saya.
Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa
keji saya."
"Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa
a.s. terkejut.
"Saya takut mengatakannya."jawab wanita cantik.
"Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa.
Maka perempuan itupun
terpatah bercerita,
"Saya... telah berzina.
"Kepala Nabi Musa
terangkat,hatinya tersentak.
Perempuan itu meneruskan,
"Dari perzinaan itu
saya pun...lantas hamil.
Setelah anak itu lahir, langsung saya... cekik lehernya
sampai... tewas," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.
Nabi Musa
berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik,
"Perempuan bejad,
enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena
perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena
jijik.
Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur
luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam
rumah Nabi Musa.
Ratap tangisnya amat memilukan.Ia tak tahu harus kemana lagi
hendak mengadu.
Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila
seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal
menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya.
Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.
Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang
wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih
besar daripadanya?"
Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih
besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?"
Maka Nabi Musa dengan
penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril.
"Betulkah ada dosa yang
lebih besar daripada perempuan yang nista itu?"
"Ada!" jawab
Jibril dengan tegas.
" Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran.
"Orang
yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal.
Orang itu dosanya
lebih besar dari pada seribu kali berzina", jawab Jibril.
Mendengar
penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali
kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada
Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan
sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti
berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya.
Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah
menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.
Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti
masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan
ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya.
(Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)
Dalam hadis Nabi
SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding
dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh
dengan ibunya di dalam Ka'bah.
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang
yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka
ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh
tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat
perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.
Demikianlah kisah Nabi Musa dan
wanita penzina dan dua hadis Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita
dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah.
Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta, astaghfiruka wa
atuubuilaiik
Labels:
CERITA INSPIRATIF,
Kisah Hikmah
09.45
Berwudhu Menurut al-Quran dan as Sunnah Shohih
Tata-Cara Berwudhu
Ilustrasi Pelaksanaan Wudhu |
- Membaca basmalah pada permulaan wudhu, dengan niat yang ikhlas semata mata karena Allah swt. sesuai dengan hadis dari (HR an-Nasa’i)
- Membersihkan kedua telapak tangan sebanyak tiga kali, hendaknya pada cela-cela jari tangan dibersihkan sebersih mungkin. [HR Muttafaq alaihi]
- Menggosok gigi dengan kayu arok atau sejenisnya. ( H.R. Malik, Ahmad dan an-Nasa’i).
- Berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung dari telapak tangan sebelah kanan serta menyemburkanya kembali, yang masing-masing dilakukan tiga kali. Hal tersebut dilakukan, kecuali ketika berpuasa. [HR Muttafaq alaihi]
- Membasuh muka tiga kali dengan mengusap dua sudut mata, menggosok dan melebihkan dalam membasuhnya serta menyela-nyelai janggut. [HR Ahmad, dan lain-lain)]
- Membasuh kedua tangan sampai kedua siku dengan digosok tiga kali sambil menyelai jari-jari tangan dengan melebihkan dalam membasuh keduanya serta memulai dengan tangan sebelah kanan [HR Muttafaq alaihi]
- Mengusap ubun-ubun dan bagian atas sorban [mengusap kepala] dengan menjalankan kedua telapak tangan dari ujung muka kepala hingga tengkuk dan dikembalikan lagi pada permulaan kemudian mengusap kedua telinga sebelah luar dengan dua ibu jari dan sebelah dalam dengan kedua telunjuk [HR Muttafaq alaihi]
- Membasuh kedua kaki beserta mata kaki dengan melebihkan dalam membasuh keduanya, memulai dari yang kanan dan menyempurnakan dalam membasuhnya. [HR Muttafaq alaihi]
- Berdoa setelah berwudhu (HR Muslim) : Ayshadu an laa ilaaha illa Allahu wahdahu laa syariika lahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu Artinya : “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu baginya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya”.
09.32
Pokok-Pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Untuk
keperluan di atas, Majlis Tarjih telah merumuskan dan menetapkan pokok-pokok
manhaj dalam mengambil keputusan. Pokok-pokok Manhaj tersebut selanjutnya
menjadi pijakan metdologis dan etis bagi ulama Muhammadiyah dalam mengembangan
pemahaman, pemikiran dan pengamalan Dinul Islam. Azhar Basyir menjelaskan
secara ringkas pokok-pokok Manhaj tersebut adalah sebagai berikut
- Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah Al-Quran dan al-Sunnah al-ØaÍÊÍah (al-MaqbËlah). Ijtihad dan istinbat atas dasar 'illah terhadap hal-hal yang tidai terdapat di dalam nas, dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang hal yang dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Ijtihad, termasuk qiyas dapat digunakan sebagai cara menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya secara langsung
- Ijtihad dilaksanakan secara jama'I, dengan jalan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan diatas kebenaran. Pendapat pribadi tidak dipandang kuat.
- Tidak terikat dan mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi aqwal al-madzahib dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran Al-Quran dan al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat.
- Berprinsip terbuka, toleran dan tidak memandang pendapat Majelis Tajih yang paling benar. Menerima koreksi dari siapa pun, selama diberikan dalil-dalil yang kuat. Majelis dimungkinkan untuk mengubah pendapat yang pernah diputuskan.
- Dalam masalah aqidah, hanya menggunakan dalil-dalil yang mutawatir.
- Tidak menolak ijma' sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan.
- Tentang dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arudl, digunakan cara: al-jam'u wa al-tawfiq, dan kalau tidak dapat dilakukan tarjih.
- Menggunakan asas "sadd al-dzara'I", untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
- Menta'lil dapat dilakukan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al-Quran dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah "al-Íukmu yadËru ma‘a al-‘illati wujËdan wa ‘adaman" dalam hal tertentu dapat berlaku.
- Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
- Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip "al-taysir".
- Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al-Quran dan As-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, namun tetap diakui akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
- Dalam hal-hal yang termasuk al-umËr al-dunyawiyyah yang tidak termasuk tugas para Nabi, penggunaan akal sangat demi tercapainya kemaslahatan umat.
- Untuk memahami nas musytarak, faham sahabat dapat diterima.
- Dalam memahami nas, maka Ðahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal ini tidak harus diterima.
Jalan ijtihad yang telah ditempuh meliputi:
- IjtihÉd bayÉnÊ, yaitu ijtihad terhadap nas yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafaz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafaz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti jumbuh (mutasyÉbih) ataupun adanya beberapa dalil yang [tampak] bertentangan (ta‘ÉruÌ). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih.
- IjtihÉd QiyÉsÊ, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada naÎnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nas, karena adanya kesamaan ‘illah
- IjtihÉd iÎtiÎlÉÍÊ, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nas sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nas mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukumnya dilakukan berdasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
Dalam menggunakan
hadith, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih
sebagai berikut:
- Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. Yang dimaksud hadis mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat, baik ucapan ataupun perbuatan dan semacamnya baik bersambung atau tidak.
- Hadis mauquf yang dihukum marfu dapat menjadi hujjah. Hadis mauquf dihukum marfu' apabila ada qarinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadis itu marfu'.
- Hadis mursal saÍabÊ dapat dijadikan hujjah apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad.
- Hadis mursal tÉbi'i semata, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya kepada Nabi.
- Hadis-hadis ÌaÑÊf yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Sahih.
- Dalam menilai perawi hadis, jarÍ didahulukan daripada ta‘dÊl setelah adanya keterangan yang mu'tabar berdasarkan alasan-alasan syar'i.
- Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, apabila ada petunjuk bahwa hadis itu muttasil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.
Secara
singkat, dapat dikemukakan bahwa sistem istinbath dalam Muhammadiyah ialah :
(1). Langsung kepada Al Qur-an dan Sunnah Shahihah. (2). Dengan mempergunakan
qaidah ushul. (3). Menggunakan pertimbangan akal sehat. ( 4). Tidak terikat pada istinbath siapapun.
Rujukan
Sjahlan Rosjidi. "Ulama
Tarjih, Pendidikan Ulama dan Pendidikan Al-Islam"., Tim UMS., Muhammadiyah
di Penghujung Abad 20. (Solo: Muhammadiyah University Press, 1989.
Fathurrahan Djamil.
Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Plubishing House,
1995, hlm. 161-164; Mustafa Kamal Pasha etall., Muhammadiyah sebagai Gerakan
Islam. (Yogyakarta: LPPI UMY, 2000.
Nasikun., Studi Perbandingan Ijtihad Umar bin Khattab
dan Sistem Istinbath dalam Muhammadiyah