Banyak dari kita yang tidak menyadari
bahwa pengorbanan dalam hidup adalah sebuah keharusan.
Terkadang sebagian kita beranggapan kesusahan dan kesempitan hidup yang kita alami membuat kita berfikir tidaklah perlu mengorbankan sebagian apa yang kita punya, karena pada dasarnya kesusahan dan kesempitan itu telah membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk merasakan kebahagiaan dan kelapangan hidup. Disadari atau tidak dampak dari sebuah pengorbanan sekecil apapun yang kita lakukan mampu membuat yang tidak mungkin dalam hidup kita menjadi mungkin, yang dulunya hanya sebuah angan-angan dapat menjadi kenyataan. Mengapa demikian?
Terkadang sebagian kita beranggapan kesusahan dan kesempitan hidup yang kita alami membuat kita berfikir tidaklah perlu mengorbankan sebagian apa yang kita punya, karena pada dasarnya kesusahan dan kesempitan itu telah membuatnya kehilangan banyak kesempatan untuk merasakan kebahagiaan dan kelapangan hidup. Disadari atau tidak dampak dari sebuah pengorbanan sekecil apapun yang kita lakukan mampu membuat yang tidak mungkin dalam hidup kita menjadi mungkin, yang dulunya hanya sebuah angan-angan dapat menjadi kenyataan. Mengapa demikian?
Karena itu merupakan kemuliaan dari sebuah pengorbanan. Perlu kita
ketahui bahwa orang mulia bukan karena apa yang dimilikinya, melainkan
pengorbanannya untuk memberikan manfaat pada orang lain. Dengan pengorbanan,
Allah SWT menyayangi kita, manusia menghargai kita, malaikat mendoakan
memohonkan rahmat untuk kita. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 15:
"Sesungguhnya
orang-orang yang sebenar-benarnya beriman hanyalah orang-orang yang percaya
kepada Allah dan Rasulnya, kemudian mereka (terus percaya dengan) tidak
ragu-ragu lagi, serta mereka berjuang dengan harta benda dan jiwa mereka pada
jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar (pengakuan imannya)."
Dalam sebuah kisah, yang dikutip dalam buku yang berjudul Bukan Untuk
Dibaca The Inspiring Story karya Deassy M. Destiani. Mari kita simak sejenak
sebagai renungan, Aku dilahirkan di dusun pegunungan yang sangat terpencil
dengan udara yang sangat dingin. Setiap hari orang tuaku membajak tanah kering
kuning dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik tiga
tahun lebih muda dariku. Saat itu aku 11 tahun dan adikku 8 tahun. Suatu ketika
untuk membeli sapu tangan yang gadis-gadis di sekelilingku memakainya, aku
mencuri 10 sen dari laci ayahku. Namun ayahku segera menyadarinya, beliau
membuat aku dan adikku berlutut di depan tembok dengan tongkat bambu di
tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” ayah bertanya. Aku terpaku karena
terlalu takut untuk berbicara. “Baiklah, karena tidak mengaku kalian berdua
layak dipukul!” lanjut ayahku, dan ayah mengangkat tongkat bambu tinggi-tinggi.
Namun tiba-tiba adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang
melakukannya!”. Tongkat panjang itu pun menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Sesudahnya ayah duduk di atas ranjang batu bata dan memarahi
“Kamu sudah belajar mencuri di rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan
kau lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri
tidak tau malu!”. Malam itu aku dan ibu memeluk adikku dengan tubuh yang penuh
luka sambil menangis tetapi ia tidak meneteskan air mata sedikitpun. Tangan
kecilnya menutup mulutku yang terus menangis sambil berkata, “Kak, jangan
menangis lagi sekarang, semuanya sudah terjadi”. Sejak saat itu aku sangat
membenci diriku karena tidak punya cukup keberanian untuk mengakui kesalahanku.
Meskipun telah bertahun-tahun berlalu rasanya kejadian itu terasa baru terjadi
kemarin. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di ibu kota kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima di sebuah
universitas di ibukota provinsi. Malam itu ayah duduk di depan rumah sambil
menghisap tembakau ditemani ibu. Aku mendengarnya bergumam, “Kedua anak kita
memberikan hasil yang begitu baik”. Ibu mengusap air matanya dan menghela napas
sambil berkata, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya
sekaligus?”. Sepontan adikku berlari keluar dan berkata “Ayah aku tidak usah
melanjutkan sekolah, sudah cukup membaca banyak buku.” Tangan ayah yang kokoh
mendarat di pipi adikku dan kemudian berkata “Mengapa kau mempunyai jiwa yang
begitu keparat? Meski harus mengemis aku akan membiayai kalian berdua sampai
selesai!”.
Dan begitulah ia mulai mengetuk setiap pintu rumah tetangga kami
untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku ke muka adikku yang membengkak,
“Seorang anak laki-laki harus sekolah setinggi-tingginya, jika tidak maka akan
tetap terbelenggu dalam kemiskinan, dan aku sudah memutuskan untuk tidak
melanjutkan ke universitas”. Siapa sangka keesokan harinya adikku meninggalkan
rumah dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku “Kak masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu
uang.” Aku memegang kertas itu dan menangis hingga suaraku hilang. Tahun itu,
aku berusia 20 tahun dan adikku 17 tahun. Dengan uang yang ayahku pinjam dari
seluruh dusun dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkuti semen pada
punggungnya di lokasi proyek pembangunan, akhirnya kuliahku hingga tahun ke
tiga di universitas. Malam itu aku sedang belajar di kamar kosku dan tiba-tiba
temanku memberitahu “Ada penduduk dusun yang mencarimu di luar”. Seketika aku
keluar dan kaget melihat seorang laki-laki berdiri di depan pintu dengan baju
lusuh dan penuh pasir, “mengapa kamu tidak bilang pada temanku kalau kamu
adikku?” kataku sambil ku bersihkan sisa pasir dan semen dari bajunya. Sambil
tersenyum adikku menjawab, “Lihat penampilanku. Apa yang akan mereka pikir,
jika tahu aku adalah adikmu? Mereka akan menertawakanmu”. Air mataku kembali
membentuk anak sungai di pipiku, “Apapun keadaanmu, kamu tetap adikku, aku tak
peduli omongan siapapun!”. Adikku mengeluarkan sebuah jepit rambut indah
berbentuk kupu-kupu dari sakunya dan menyelipkannya di rambutku sambil berkata,
“Aku melihat banyak teman-temanmu memakainya, jadi kupikir kamu juga harus
memilikinya”. Segera ku tarik tubuhnya yang kurus ke dalam pelukanku dengan
tangisanku yang tersedu-sedu. Tahun itu, adikku genap 23 tahun dan aku 26
tahun. Aku akan menikah rumahku diperbaiki, kaca jendela yang pecah juga telah
diganti. Aku bilang pada ibu, “Ibu tidak perlu repot-repot membersihkan rumah,
biar aku saja”. Sambil tersenyum ibu menjawab, “Semua itu adikmu yang
melakukannya, apa kamu tidak melihat tangannya terluka kena kaca yang pecah?”. Aku
masuk ke kamar sempit adikku, melihat mukanya yang kurus seratus jarum serasa
menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep ke tangannyan, “Pasti ini sakit?”
tanyaku. “Tidak, tidak sakit kak, kamu tahu kak saat aku bekerja di proyek,
batu-batu sering berjatuhan mengenai kakiku, bahkan itu tidak menghentikanku
bekerja dan...”, di tengah kalimat itu ia berhenti karena aku membalikkan
tubuhku karena tak mampu menahan air mataku. Saat aku sudah menikah,
perekonomianku membaik karena suamiku menjadi direktur di perusahaannya. Dan
aku mengajak kedua orang tuaku dan adikku untuk tinggal bersama, namun mereka
menolak. “Kak jagalah mertuamu saja, aku akan menjaga ibu dan ayah di sini”,
penolakan adikku. Suamiku menginginkan adikku menjadi manajer di departemen
pemeliharaan di perusahaan yang dia pegang, namun lagi-lagi dia menolak dan
memilih menjadi pekerja reparasi. Suatu hari adikku masuk rumah sakit karena
jatuh dari ketinggian akibat tersengat listrik. Aku dan suamiku menjenguknya.
Melihat gips putih di kakinya aku menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Menajadi manajer tidak akan pernah melakukan hal yang membahayakan
seperti ini! Lihat kamu sekarang luka yang begitu serius, mengapa tidak mau
mendengar kami sebelumnya?”. Adikku
mengeluarkan pembelaannya, “Pikirkan kakak ipar, ia baru saja menjadi direktur
dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer, gosip seperti apa
yang akan tersiar di kantornya?”. Mata suamiku pun dipenuhi air mata, dengan
terbata-bata aku berkata, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”.
Adikku menggenggam tanganku, “Mengapa membicarakan masa lalu?”. Waktu terus
berlalu, ketika adikku berusia 30 tahun, ia menikahi seorang gadis dari dusun.
Dalam acara pernikahan, pembawa acara bertanya padanya, “Siapa yang paling kamu
hormati dan kasihi?”. Tanpa berpikir panjang ia menjawab, “Kakakku” ia
melanjutkan cerita yang tidak bisa aku ingat sama sekali. “Ketika aku pergi ke
sekolah SD yang terletak di dusun lain. Setiap hari aku dan kakakku berjalan
selama dua jam untuk sampai ke sekolah. Suatu hari saya kehilangan satu dari
sarung tanganku dan kakakku memberikan satu dari sarung tangannya padaku dan ia
memakai hanya satu dengan jarak yang jauh itu. Setibanya di rumah tangan kakaku
sangat gemetaran karena cuaca yang sangat dingin sampai-sampai tidak dapat
memegang sendoknya untuk makan. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih
hidup aku akan menjaga kakakku dan berbuat baik kepadanya”. Tepuk tangan
membanjiri ruangan itu. Aku tak dapat berkata apa-apa air mataku sangat deras
mengalir dan dadaku sesak.
Begitulah Allah menampakkan kemuliaan pengorbanan hambanya yang ikhlas,
pertolongan itu datang dari arah yang tidak disangka sebelumnya yaitu melalui
adiknya. Keluar dari cerita di atas, kita sebagai umat muslim, seperti apapun
kondisi kita, berapapun usia kita saat ini, pertanyaan yang mendasar untuk kita
semua seberapa banyak pengorbanan yang telah kita lakukan untuk meringankan
beban orang lain dengan cara saling tolong menolong, meskipun melalui hal yang
sangat kecil? Bukankan masih jelas dalam ingatan kita QS. Al-Maidah ayat 2
Allah memerintahkan kita untuk saling tolong menolong,
Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.
Jika kita masih bisa
menjawab dengan satu pengorbanan yang pernah kita lakukan, mungkin kita tidak
terlalu malu dihadapan Allah. Jika kita hanya berharap kebaikan dan pengorbanan
orang lain terhadap kita, bagaimana kita hendak mempertanggungjawabkannya kelak
di hadapan Allah. Mungkin sebagian dari kita bergumam dalam hati, saya kan
orang miskin, bisa makan setiap hari saja sudah untung, atau masih untung gaji
bulanan saya bisa sampai satu bulan, bagaimana mau berkorban atau menolong
orang lain? Sudahkah kita lupa nikmat yang Allah berikan kepada kita, berupa
nikmat sehat, akal, panca indra yang lengkap dan masih banyak lagi. Mengapa itu
tidak kita gunakan untuk sebuah pengorbanan yang berarti bagi orang lain? Hanya
sekedar senyum pada saudara kita, barangkali dapat meringankan hatinya yang
sedang sedih, atau hanya sekedar menjaga lisan untuk tidak menyakiti orang
lain.
Jangan menyimpan banyak alasan untuk menghindari sebuah pengorbanan.
Karena sesungguhnya hal itu akan menuntun kita pada pengingkaran nikmat yang
telah Allah berikan kepada kita. Jika kita menginginkan nikmat Allah selalu
terlimpahkan kepada kita maka jangan sekali-kali mengingkarinya dengan tidak
mensyukurinya. Bukankah Allah telah mengingatkan kita sebanyak 30 kali dalam
QS. Ar-Rahman untuk tidak mendustakan nikmatnya.
Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Mari
kita bermuhasabah diri._pita_κύτες
Posting Komentar