REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Tidak ragu lagi, salah satu warisan (
legacy)
Islam yang berkembang pesat dalam masa setengah abad terakhir adalah
lembaga pendidikan Islam (PTAI), baik negeri (PTAIN) maupun swasta
(PTAIS). Bermula dari Sekolah Tinggi Islam (STI), kemudian Fakultas
Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) menjelang proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, PTAIN secara sederhana berawal dengan
pendirian pendidikan kedinasan Kementerian Agama berupa Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) Ciputat dan PerguruanTinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
di Yogyakarta pada 1957.
Cerita selanjutnya adalah ekspansi
PTAIN ketika ADIA dan PTAIN meninggalkan status pendidikan kedinasan
menjadi IAIN sejak 1960. Sepanjang tahun-tahun akhir pemerintahan Orde
Lama dan awal Orde Baru satu persatu IAIN didirikan di banyak ibukota
provinsi dengan fakultas cabang di sejumlah kota kecil. Berikutnya, pada
1997 seluruh fakultas cabang tersebut memperoleh peningkatan status
menjadi STAIN.
Terakhir sejak 2002 sampai 2014. 10 IAIN dan satu
STAIN menjadi UIN—sebuah nomenklatur baru dalam pendidikan tinggi Islam.
Dalam waktu yang sama sejumlah STAIN menjadi IAIN. Hasilnya, kini
terdapat 56 PTAIN yang terdiri dari 11 UIN, 24 IAIN dan 21 STAIN. Kini
juga terdapat perguruan tinggi agama negeri Kristen (STAKN) dan Hindu
(STAHN dan IAHN).
Mengamati perkembangan PTAIN, riwayatnya seolah
menjadi pembuktian argumen Harry J. Benda dalam The Crescent and the
Rising Sun:
Indonesian Islam under the Japanese Occupation,
1942-1945 (1958). Meminjam argumennya, sejak masa Jepang dan
kemerdekaan, sejarah Islam Indonesia tak lain riwayat ekspansi kaum
santri dengan proses ‘santrinisasi’ lewat IAIN khususnya.
Hal yang sama juga ditegaskan MC. Ricklefs, sejarawan Australia terkemuka. Dalam karya terakhirnya,
Islamization and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, C.
1930 to the Present (2012), Ricklefs menyimpulkan, IAIN memainkan peran
penting dalam proses Islamisasi yang menurut dia ‘tidak bisa dihentikan
atau dimundurkan’.
Karena itu, perkembangan PTAIN dan kajian
Islam yang menyertainya perlu dirayakan secara reflektif dan evaluatif
agar dapat memberi kontribusi lebih besar lagi bagi negara-bangsa
Indonesia. Terkait dengan hal itu, penulis Resonansi ini beruntung dapat
turut merayakan sebagai narasumber dalam beberapa konperensi tentang
kajian Islam pada Program PascaSarjana UIN Yogyakarta (18/11/2-14),
Program PascaSarjana UIN Surabaya (20/11), Konperensi Internasional
Tahunan Kajian Islam (AICIS XIV, IAIN Samarinda, 21-24/11/2014), dan
IAIN Banjarmasin (25/11).
Dalam merayakan PTAIN dan Kajian Islam,
juga sepatutnya penghargaan diberikan kepada mereka yang telah ikut
mengasuhnya baik sarjana dan praktisi pendidikan dari lingkungan PTAIN
sendiri, maupun kalangan luar yang turut mengabdikan diri dalam
pengembangan PTAIN khususnya sejak masa IAIN sampai STAIN dan UIN.
Di
antara sarjana asing yang turut membantu pengembangan IAIN adalah Karel
Steenbrink dan Martin van Bruinessen, keduanya asal Belanda, yang
masing-masing pada 1970an dan 1980an mengajar dan membantu pengembangan
Program PascaSarjana di IAIN Yogyakarta dan IAIN Jakarta. Mereka
memberikan kontribusi tidak hanya dalam penguatan pendekatan baru dalam
kajian Islam yang lebih bersifat historis, antropologis dan sosiologis,
tetapi juga menghasilkan lulusan S2 dan S3 yang kemudian memainkan peran
penting dalam pengembangan IAIN dan Program PascaSarjananya.
Meski
banyak kemajuan PTAIN dan kajian Islam, masih ada kalangan yang tidak
bisa menggunakan nalar obyektifnya, dan sebaliknya menggunakan cara
pandang konspiratif. Misalnya, dalam konperensi internasional ‘Dynamics
of the Studies on Indonesian Islam:
Tribute to Karel Steenbrink and Martin van Bruinessen’
di Program PascaSarjana UIN Sunan Kalijaga’ seorang audiens dalam
kesempatan tanya jawab menyatakan tentang adanya ‘konspirasi’ jahat
untuk meminggirkan Islam dan Muslim di Indonesia.
Lebih jauh dengan cara pandang konspiratif, dia mengutip kembali dikotomi usang tentang ‘minna’ dan ‘
minhum’
terkait politik dan pemerintahan. Dengan oposisi biner’ ini,
pemerintahan yang ada bukanlah pemerintahan umat—bukan ‘dari kita’ (
minna).
Cara pandang konspiratif jelas sangat merugikan. Pertama, menciptakan ‘
majority with a minority complex, ungkapan
sosiolog Belanda, W.F. Wertheim ketika mengamati sosiologi umat Islam
Indonesia di masa Presiden Soekarno. Cara pandang seperti ini sempat
bertahan dalam psikologi sebagian umat Islam Indonesia pada masa Orde
Baru. Akibatnya, mereka terhinggapi perasaan menjadi tamu di rumahnya
sendiri.
Meski cara pandang konspiratif sebagian besarnya memudar
sejak 1990an, masih ada saja yang ‘menyanyikan lagu lama’ ini. Cara
pandang seperti itu sepatutnya diganti dengan kacamata lebih positif;
bersyukur dengan kemajuan yang telah dicapai, mengoreksi hal-hal yang
belum pada tempatnya dan turut melakukan apa yang bisa dilakukan untuk
lebih memajukan umat dan negara-bangsa Indonesia.