Diberdayakan oleh Blogger.
ASRAMA UPTODATE
10.57
Wallahu a'lam bish-shawab. *sy)
Membayar Fidiyah
Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Juni 18, 2014 | 10.57
FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS
DAN FIDYAH DENGAN UANG
Pertanyaan Dari:
Hj. Maryam, Midai, Kepri,
pertanyaan disampaikan lewat telpon, tanggal 4 Ramadan 1431 H
(disidangkan [ada hari Jum'at, 17 Ramadan 1431 H / 27 Agustus 2010 M)
Saya seorang perempuan lanjut usia (80 tahun lebih). Saya
merasa tidak kuat menjalankan ibadah puasa, karena apabila saya
berpuasa badan saya menjadi sangat lemah dan bisa sakit. Saya
berkeinginan membayar fidyah. Tetapi kata orang di kampung saya, fidyah
harus dibayar setiap hari dan tidak boleh dibayar sekaligus, serta harus
dalam bentuk makanan dan tidak boleh dalam bentuk uang. Saya tidak
mampu menyiapkan makanan dan mengantarkannya kepada fakir miskin setiap
hari karena tempat yang agak jauh dan karena usia saya yang sudah sangat
lanjut. Pertanyaannya: Apa memang tidak boleh dibayarkan sekaligus baik
di depan atau di belakang untuk orang dalam kondisi seperti saya? Dan
apa memang harus dalam bentuk makanan dan apa tidak boleh dalam bentuk
uang? Terima kasih atas perhatiannya.
Jawab:
Pertama-tama disampaikan terima kasih kepada Ibu Hj. Maryam
atas pertanyaanya. Puasa Ramadan adalah salah satu kewajiban agama yang
difardukan atas setiap orang mukmin dewasa baik laki-laki maupun
perempuan, dan puasa Ramadan itu merupakan salah satu dari rukun Islam
yang lima yang wajib dijalankan. Tujuan ibadah puasa itu adalah sebagai
sarana pendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan
sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt. Namun demikian Allah
SWT di dalam al-Quran memberi perkecualian dari kewajiban melaksanakan
puasa Ramadan atas orang-orang tertentu yang karena suatu atau lain
sebab tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut. Perkecualian ini
diberikan sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri bahwa agama ini
bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia [Q. 21: 107] dan tidak
bertujuan mempersulit manusia [Q. 5: 6; 22:78]. Bahkan dalam ayat puasa
sendiri ditegaskan bahwa prinsip pelaksanaan puasa itu adalah memudahkan
sebagaimana firman Allah,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [البقرة : 185]
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu [Q. 2: 185].
Atas dasar itu kepada orang-orang tertentu diberi keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ibadah tersebut. Orang-orang yang mendapat keringanan itu adalah:
1. Orang yang memiliki uzur sementara, yaitu orang sakit dan bepergian (musafir).
Mereka ini dibolehkan tidak puasa, tetapi diwajibkan membayarnya
(mengqadanya) pada hari lain di luar bulan Ramadan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang menegaskan,
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة: 184]
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan atas
orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah (jika mereka
tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q. 2: 184].
2. Orang
yang memiliki uzur tetap, yaitu orang lanjut usia yang tidak lagi mampu
berpuasa – seperti Ibu Hj. Maryam yang berusia 80 tahun lebih dan tidak
kuat lagi berpuasa –, orang sakit menahun, orang yang penghidupannya
adalah dengan bekerja berat seperti kuli pekerja tambang, kuli pelabuhan
atau semacam itu yang apabila berpuasa mereka akan mengalami kesulitan
besar dan merasa teramat berat dan menderita. Termasuk juga kategori ini
adalah wanita hamil dan menyusui. Kepada mereka ini diberi rukhsah
(dispensasi, keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan
membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari
tidak puasa dengan kadar sekurang-kurangnya satu mud bahan pangan pokok
(6 ons). Dasarnya adalah potongan ayat yang telah dikutip di atas,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة : 184]
Artinya: Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya
membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan
seorang miskin [Q. 2: 184]
Dalam Tafsir al-Manar ditegaskan bahwa al-ladzina yuthiqunahu berarti orang-orang yang amat berat dan amat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan tetapi dengan masyaqqah (keadaan
berat) yang besar (Juz II: 126]. Arti ini meliputi orang-orang tua yang
lemah, orang sakit menahun, pekerja berat di pertambangan, kuli
pelabuhan, tukang becak, supir kenderaan besar jarak jauh, termasuk
wanita hamil dan menyusui. Mereka diberi rukhsah (keringanan)
untuk tidak berpuasa tetapi diwajibkan menggantinya dengan membayar
fidyah. Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah yang
dikutip di muka, jika mereka ini mengupayakan untuk berpuasa, maka hal
itu lebih baik. Jika seandainya mereka miskin sehingga tidak mampu
membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah, sesuai dengan
firman Allah,
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة: 286]
Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [Q. 2: 286]
Mengenai cara membayar fidyah, apakah boleh dilakukan sekaligus saja
atau diecer dengan cara membayar setiap kali tidak berpuasa Ramadan,
maka sesungguhnya tidak ada ketentuan bahwa wajib dibayar secara diecer
setiap hari tidak puasa. Karena itu boleh dilakukan pembayaran fidyah
secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadan
maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadan karena itu lebih memudahkan
sesuai dengan firman Allah dalam Q. 2: 185 yang telah dikutip di atas
dan dalam firman Allah,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج: 78]
Artinya: Dan tiadalah Dia (Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama [Q. 22: 78]
Fatwa dari Lajnah Daimah dari Arab Saudi juga membolehkan membayar
fidyah secara sekaligus sebagaimana boleh juga membayarnya secara diecer
setiap hari tidak puasa.
Demikian pula, sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah di atas, boleh seluruh
fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah
berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja
kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (memberi
makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah
puasa 30 hari). Menurut Syaikh Usaimin pandangan ini dianut oleh
kebanyakan ulama Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Ibn
Muflih (w. 763/1362) dalam Kitab al-Furu’ (IV: 448) dan Ibn al-Mardawi (w. 885/1480) dalam kitab al-Insaf
(III: 291), keduanya dari mazhab Hanbali, menegaskan, “Boleh
menyalurkan pemberian makan kepada satu orang miskin secara sekaligus.”
Artinya seluruh fidyah diberikan kepada satu orang miskin saja.
Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676/1277),
seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin (II: 246). Al-Bahuti (w. 1046/1636) dalam Kasysyaful-Qina’ mendasarkan
kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah 184 al-Baqarah di atas.
Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada satu orang, maka
boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap santap,
kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan zahir
ayat fidyah di atas, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sahabat
Anas Ibn Malik r.a., salah seorang Sahabat Nabi saw yang ketika di usia
tua tidak mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang
untuk satu hari saja. Asar ini diriwayatkan oleh Ibn Mullas (w. 270/883)
dalam Suba’iyyat Abi al-Ma’ali, h. 18).
Adapun mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadan tidak dapat
dibenarkan karena fidyah itu adalah pengganti dari suatu kewajiban yang
tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. Sementara puasa Ramadan
sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadan, belum wajib dilaksanakan, jadi
belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada fidyah
pengganti kewajiban.
Mengenai wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap
santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik r.a. dalam riwayat Ibn
Mullas di atas, (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau
beras. Hal ini difahami dari keumuman kata tha’am (makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas. Di dalam hadis-hadis Nabi saw kata tha’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan. Dalam hadis riwayat Muslim Nabi saw bersabda,
إذا دُعِيَ أحدكم إلى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ
Artinya: Apabila seseorang kamu diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya (HR Muslim, Sahih Muslim, II: 1054).
Dalam hadis ini kata tha’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam hadis lain kata tha’am berarti bahan pangan, misalnya dalam hadis Abu Hurairah,
عن
أبي هُرَيْرَةَ قال مَرَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ
يَبِيعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيه فإذا هو مَغْشُوشٌ فقال رسول
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ليس مِنَّا من غَشَّ [رواه ابن ماجه]
Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata:
Rasulullah saw lewat pada seorang penjual bahan pangan (tha’am), lalu
beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan pangan itu, ternyata tipuan.
Lalu Rasulullah saw berkata: Tidak termasuk umat kami orang yang
melakukan penipuan (HR Ibn Majah).
Dalam hadis ini dan banyak hadis lainnya kata tha’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan.
Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang
berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia
bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk
satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.
Dapatkah fidyah dibayarkan dalam bentuk uang senilai bahan pangan?
Mengenai pembayaran fidyah dengan uang, maka terdapat perbedaan pendapat
ulama. Fatwa Lajnah Daimah dari Arab Saudi dengan mufti Abdul Aziz Ibn
Abdullah Ibn Baz tidak membolehkan membayar fidyah dalam bentuk uang.
Tetapi fatwa itu tidak menjelaskan alasannya. Fatwa itu hanya berbunyi
singkat, “Tidak memenuhi ketentuan apabila engkau membayar fidyah dengan
uang sebagai ganti memberi makan.” Fatwa-fatwa lain seperti fatwa dari
al-Azhar yang diberikan oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dan fatwa
dari Dar al-Ifta yang dikeluarkan oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Jum’ah dan
fatwa dari Komisi Fatwa Kuwait membolehkan membayar fidyah dengan uang.
Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dalam salah satu fatwanya menegaskan
bahwa, “Apabila sakitnya tidak dimungkinkan untuk sembuh lagi, maka
wajib atasnya membayar fidyah seperti halnya orang tua yang lemah … … …
dan fidyah itu adalah memberi makan dua kali kepada satu orang miskin
atau memberi bahan pangan seperti gandum setengah sha’ atau
membayar nilainya (dengan uang).” Dalam fatwa ini disebut memberi makan
orang miskin dua kali dikarenakan dalam satu hari orang makan
sekurang-kurangnya dua kali.
Dilihat dari segi sifat likuid dari uang sehingga lebih luwes dapat
digunakan untuk kebutuhan yang diprioritaskan oleh orang miskin, maka
menurut kami pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dengan uang
adalah lebih rajih. Ulama-ulama Hanafi ketika membolehkan memberikan
zakat fitrah kepada orang miskin dalam bentuk uang beralasan bahwa uang
lebih likuid sifatnya dan lebih luwes penggunaannya. Selain itu juga
karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang
terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada
jenis harta tertentu. Atas dasar itu kami berpendapat bahwa pembayaran
fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah
fidyah.
Dalam fatwa Majelis Tarjih yang termuat pada buku Tanya Jawab Agama,
jilid 2: 126-128, ketika menjawab pertanyaan tentang kebolehan membayar
zakat fitrah dan fidyah dengan uang, diuraikan panjang lebar arti kata tha’am dalam ungkapan tha’am al-miskin yang disebutkan dalam al-Quran. Menyarikan uraiannya yang panjang, fatwa itu menegasakan,
Ringkasnya, pengertian tha’am dalam pengertian bahasa, pengertian
dalam al-Quran maupun dalam Hadis mempunyai beberapa arti. Dapat
berarti makanan, baik yang mentah maupun yang matang. Dapat pula berupa
suatu pemberian yang dapat digunakan untuk memberikan santunan terhadap
keperluan hidup fakir/miskin, seperti uang [h. 128].
Akan tetapi dalam kesimpulan kurang diberi penegasan mengenai boleh atau
tidak boleh memberikan fidyah dalam bentuk uang. Fatwa itu menyatakan,
“Kesimpulannya membayar fitrah dan fidyah, bagi yang tidak mampu
melaksanakan puasa, yang utama dibayar dengan memberikan makanan yang
masih mentah seperti beras dan sesamanya yang menjadi makanan harian si
pembayar” [h. 128].
Oleh sebab itu, dalam fatwa yang sekarang ini dipertegas kebolehan
membayar fidyah dalam wujud uang berdasarkan alasan seperti telah
dikemukakan di atas.
Uraian panjang di atas, menyangkut pertanyaan yang diajukan, dapat diringkas sebagai berikut:
1. Pembayaran fidyah
bagi orang yang tidak menjalankan puasa Ramadan karena uzur tetap
seperti usia sangat lanjut, sakit menahun, hamil dan menyusui, atau
kerja sangat berat terus menerus dapat dilakukan dalam bentuk memberi
jamuan makan (makanan siap santap), memberi bahan pangan 6 ons beras,
atau dalam bentuk uang senilai bahan pangan tersebut.
2. Pembayaran fidyah
bagi orang sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas dapat dilakukan
sekaligus dan dapat pula dilakukan setiap hari serta dapat dilakukan di
muka sejak awal Ramadan dan dapat pula dilakukan kemudian, tetapi tidak dapat dilakukan sebelum masuknya bulan Ramadan.
3. Pembayaran fidyah
bagi orang sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas dapat dilakukan
dengan memberikan seluruh fidyah kepada satu orang miskin saja.
4. Pembayaran
fidyah bagi orang sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas, bilamana
berupa memberi makanan siap santap, dapat dilakukan satu hari untuk
seluruh hari Ramadan tidak puasa dengan menjamu makan orang miskin
sejumlah hari Ramadan yang tidak dipuasai.
Labels:
KONSULTASI AGAMA (TARJIH)
10.53
Artinya: “(yaitu) Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 184]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a., bahwa ia berkata: Kami kadang-kadang mengalami itu (haid), maka kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” [HR. Muslim]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadhan) dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qadla).” [HR. al-Hakim, hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari]
Artinya: “Engkau termasuk orang yang berat berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah dan tidak usah mengganti puasa (qadla).” [HR. al-Bazar dan dishahihkan ad-Daruquthni]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari perempuan yang hamil dan menyusui.” [HR. an-Nasa’i]
QADLA (MEMBAYAR) PUASA RAMADHAN
Pertanyaan Dari:
Daru Hagni, alamat: daru_hagni@yahoo.com.sg
(disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban 1431 H / 6 Agustus 2010)
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Kepada
Pak Ustadz/Bu Ustadz yang terhormat, langsung saja pada pertanyaan. Ada
teman yang karena sakit membatalkan puasanya ketika Ramadhan.
Masalahnya, teman saya itu lalai sehingga sampai lewat Ramadhan
berikutnya masih belum terbayar juga. Bagaimana mengatasi hal ini?
Bisakah diqadla meskipun sudah lewat Ramadhan? Haruskah juga membayar fidyah selain qadla? Bagaimana jika lewatnya bukan hanya satu Ramadhan tapi dua Ramadhan dan masih belum bayar? Mohon pencerahannya, terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jawaban:
Terima
kasih atas pertanyaan saudara, pertanyaan yang sama pernah dibahas
dalam Tanya Jawab Agama Jilid 1 halaman 106, namun demikian perlu kami
perjelas kembali sebagai berikut.
Untuk menjawab pertanyaan saudara, ada baiknya kita pelajari kembali surat al-Baqarah (2): 184;
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Artinya: “(yaitu) Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 184]
Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa ada beberapa golongan yang mendapat rukhsah
(keringanan) untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi dibebankan
kepada mereka untuk mengganti puasa yang mereka tinggalkan. Adapun
golongan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan boleh tidak berpuasa
pada bulan Ramadhan tetapi orang tersebut wajib mengganti (qadla)
pada hari lain. Adapun yang dimaksud hari yang lain adalah hari di luar
bulan Ramadhan. Golongan ini sama dengan perempuan yang sedang haid dan
tidak berpuasa Ramadhan, maka wajib mengganti puasa (qadla) di luar bulan Ramadhan sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كاَنَ يُصِيْبَنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَلاَةِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a., bahwa ia berkata: Kami kadang-kadang mengalami itu (haid), maka kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” [HR. Muslim]
Kedua, orang yang merasa berat untuk berpuasa maka ia wajib mengganti dengan membayar fidyah, tidak perlu mengganti dengan puasa (qadla). Adapun yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang sudah tua seperti hadis dari Ibnu Abbas:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رُخِصَ لِلشَيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ،
وَيُطْعِمَ عَلىَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ. [رواه الحاكم، حديث صحيح على شرط البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadhan) dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qadla).” [HR. al-Hakim, hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari]
Juga
termasuk di dalamnya adalah perempuan yang hamil dan perempuan yang
sedang dalam masa menyusui, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada
seorang ibu yang hamil:
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ فَعَلَيْكَ اْلفِدَاءَ وَلاَ قَضَاءَ. [رواه البزار وصححه الدارقطني]
Artinya: “Engkau termasuk orang yang berat berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah dan tidak usah mengganti puasa (qadla).” [HR. al-Bazar dan dishahihkan ad-Daruquthni]
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ لِلْمُسَافِرِ الصَّوْمَ
وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ. [رواه النسائي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari perempuan yang hamil dan menyusui.” [HR. an-Nasa’i]
Adapun
kaitan dengan pertanyaan saudara bahwa penyebab batalnya puasa adalah
karena sakit, maka caranya adalah mengganti dengan puasa (qadla)
di hari lain di luar bulan Ramadhan, tidak perlu membayar fidyah. Hal
ini karena fidyah hanya diperuntukkan bagi orang tertentu yang dalam
katagori “yutiqunahu” atau orang yang berat untuk berpuasa.
Sedangkan
waktu untuk membayar puasa adalah pada hari-hari lain di luar bulan
Ramadhan, dan berdasarkan keumuman ayat tersebut tidak ada batas akhir
waktu kapan harus mengganti puasa (qadla). Namun demikian baik
sekali jika mengganti puasa dilaksanakan sebelum Ramadhan berikutnya.
Tetapi jika tidak bisa melakukannya karena ada hal yang membuat
terhalang, maka tetap harus diganti setelah Ramadhan berikutnya. Selain
itu, orang yang telah lalai tersebut agar beristigfar, memohon ampun dan
bertaubat untuk tidak mengulangi kelalaiannya dan tetap wajib membayar
hutang puasanya setelah Ramadhan berikutnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *ay)
(sudah dikoreksi oleh; A.56hudin, Selasa 2 Nop 2010)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
Labels:
KONSULTASI AGAMA (TARJIH)
10.32
awaban:
Dalil melaksanakan Salat iftitah Secara Berjamaah
APAKAH SHALAT IFTITAH DILAKSANAKAN
DENGAN BERJAMA’AH
Pertanyaan Dari:
Bapak Rusydi, Takmir Masjid al-Azhar,
Muhammadiyah Cabang Lamongan Jawa Timur
(disidangkan pada hari Jum’at, 15 Rabiulawal 1432 H / 18
Februari 2011 M)
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Dengan ini
kami sampaikan bahwa di masjid al-Azhar Muhammadiyah Cabang Lamongan sebelum
Ramadan 1428 pelaksanaan shalat iftitah dilaksanakan dengan sir dan
sendiri-sendiri. Kemudian dalam rapat Takmir Masjid ada pertanyaan
apakah shalat iftitah dilakukan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri. Setelah
mendengarkan penjelasan dalam pengajian yang disampaikan oleh tokoh
Muhammadiyah dan beliau mengutip penjelasan tentang kaifiyat shalat iftitah yang
dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama,
adanya perubahan dalam cara pelaksanaan salat iftitah yaitu shalat iftitah
dilaksanakan dengan berjamaah. Apakah benar shalat iftitah
itu dilaksanakan dengan berjamaah?awaban:
Terima kasih
atas pertanyaan bapak. Untuk menjawab pertanyaan yang bapak
sampaikan, perlu kami kemukakan
beberapa hadis sebagai berikut:
1. Hadis
riwayat Ibnu Abbas:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ
بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَعِيدِ
بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ
عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ قَالَ بِتُّ عِنْدَهُ
لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ
أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ
مَعَهُ ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ
ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي
كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلَالٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى لِلنَّاسِ (رواه أبو داود:الصلاة: فى
صلاة الليل:1157)
Artinya:
“Abdul Malik bin Syu’aib bin al-Lais
telah menceritakan kepada kami, ayahku telah menceritakan kepadaku,
diriwayatkan dari kakekku, diriwayatkan dari Khalid bin Yazid, diriwayatkan
dari Sa’id bin Abi, diriwayatkan dari Makhramah bin Sulaiman sungguh Kuraib
hamba ibnu Abbas ia menceritakan bahwa dirinya berkata: Saya bertanya kepada
Ibnu Abbas, bagaimana shalat Rasulullah saw pada malam hari dimana saya bermalan
di tempatnya sedang beliau (Rasulullah) berada di tempat Maimunah,
maka beliau pun tidur, apabila waktu telah memasuki sepertiga malam atau
setengahnya beliau bangun dan menuju ke griba (wadah air dari kulit) kemudian
beliau berwudlu dan aku pun berwudlu bersama beliau, lalu beliau berdiri (untuk
melakukan shalat) dan aku pun berdiri di sebelah kirinya, maka beliau menjadikan
(memindahkan) aku berada di sebelah kanannya, kemudian beliau meletakkan
tangannya di atas kepalaku, seolah-olah
beliau memegang telingaku, seolah-olah beliau membangunkanku, kemudian beliau
shalat dua rakaat ringan-ringan, beliau
membaca ummul-Qur’an pada
setiap raka’at, kemudian beliau mengucapkan salam sampai beliau salat sebelas
raka’at dengan witirnya, kemudian beliau tidur. Maka sahabat Bilal
menghampirinya sambil berseru; waktu salat wahai Rasulullah, lalu beliau
bangkit (bangun dari tidurnya) dan salat dua rakaat, kemudian memimpin salat
orang banyak.” [HR.
Abu Dawud; kitab as-Shalat, bab fi shalat al-Lail, hadis no. 1157]
2. Hadis
riwayat Hudzaifah:
عن حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَانِ قَالَ :
أَتَيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ ، فَتَوَضَّأَ
وَقَامَ يُصَلِّي ، فَأَتَيْتُهُ ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِه ، فَأَقَامَنيَ عَنْ يَمِيْنهِ ، فَكَبَّرَ ، فَقَالَ : «
سُبْحَانَ اللهِ ذِي اْلَمَلَكُوْتِ ، وَالْجَبَرَوت ، وَالْكِبْرِيَاءِ ، وَالْعَظَمَةِ
»-الْحَدِيْثُ
[اَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِى فِى اْلأَوْسَطِ وَقَالَ فِى مَجْمَعِ
الزَّوَائِدِ: رِجَالُهُ مُوَثَّقُوْنَ: الجزء الول: 107]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman ia
berkata: Aku pernah mendatangi Nabi saw pada suatu malam. Beliau mengambil wudlu kemudian shalat lalu aku menghampirinya
dan berdiri di sebelah kirinya lalu aku di tempatkan di sebelah kanannya,
kemudian beliau bertakbir dan membaca: Subha-nallah dzil
malakuti wal-jabaruti wal-kibriya-i wal-‘adzamah.” [HR. ath-Thabrani dalam
kitab al-Ausath dengan mengatakan bahwa perawinya orang terpecaya, juz
1: 107]
Penjelasan:
Hadis
riwayat Abu Dawud di atas, dalam kitab as-Shalat, bab fi shalat al-Lail, hadis no.
1157 dan hadis riwayat ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath juz 1: 107 menjelaskan bahwa pada suatu
malam Hudzaifah al-Yamani shalat iftitah 2 rakaat bersama Rasulullah saw, ia
(Hudzaifah) berada di sebelah kiri Rasulullah saw kemudian beliau memindahkan
posisinya ke sebelah kanan beliau.
Dalam kitab
syarah sunan Abu Dawud dijelaskan bahwa kalimat
فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى
يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ
Menjadi dalil tentang posisi makmum yang hanya seorang
berada di sebelah kanan imam. Apabila ada seorang makmum berdiri di
sebelah kiri imam, maka makmum tersebut hendaklah bergeser (pindah) ke sebelah
kanan imam, dan jika makmum tidak bergeser (pindah posisi), maka imam
memindahkan makmum tersebut ke sebelah kanannya.
Berdasarkan
atas pemahaman terhadap kedua hadis di atas dan syarahnya, kami berkesimpulan
bahwa shalat iftitah yang dilakukan oleh Nabi saw bersama dengan Hudzaifah
al-Yamani dilaksanakan dengan berjamaah. Dengan demikian sebagaimana yang bapak tanyakan, bahwa shalat iftitah dapat
dilaksanakan dengan berjamah berdasar pada kedua hadis tersebut.
Wallahu a‘lam
bish-shawab. *A.56h)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
10.21
Jadwal Imsakiyah Ramadhan 1435 H/2014 M Wilayah Madiun dan sekitar
Tiada terasa Bulan Suci, bulan yang
penuh Rahmat, Berkah, dan Maghfirah, yaitu Bulan Ramadhan beberapa saat
lagi menghampiri kita. Muslimin dan muslimat semuanya, marilah kita
sambut Ramadhan dengan penuh suka cita, dan semoga kita semua diberi
kekuatan untuk menunaikannya, beserta dengan amalan-amalan kebajikan
demi mengharap Ridho NYA. Amien.
Dalam kesempatan ini Admin akan membagikan infornasi tentang "Jadwal
Imsakiyah Ramadhan 1435 H/2015 untuk wilayah kota madiun dan sekitar. Semoga
ada guna dan manfaatnya. Amien.
Para sobat yang ingin share di tempat lain, silahkan...
Labels:
LIPUTAN PONDOK
10.05
Hadis-Hadis seputar Nishfu Sya'ban
Pertanyaan :
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 100 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.” Wallohu a`lam.
وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ : وَأَمَّا صَلَاةُ الرَّغَائِبِ فَلَا أَصْلَ لَهَا . بَلْ هِيَ مُحْدَثَةٌ . فَلَا تُسْتَحَبُّ لَا جَمَاعَةً وَلَا فُرَادَى . فَقَدْ ثَبَتَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُخَصَّ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ . أَوْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ } . وَالْأَثَرُ الَّذِي ذُكِرَ فِيهَا كَذِبٌ مَوْضُوعٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ . وَلَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةِ أَصْلًا .
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, Adapun SHALAT RAGHAIB tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan merupakan perkara baru, maka tidak dianjurkan baik dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri. Berkenaan dengan ini, hadits shahih riwayat Muslim bahwasanya Rasullullah SAW melarang mengkhushushkan shalat pada malam jum`at dan berpuasa di siang harinya. Adapun periwayatan (atsar) yang menyebutkan hal itu adalah dusta dan palsu berdasarkan kesepakatan ulama. Tidak ada yang menyebutkan salah seorang dari ulama salaf yang menyebutkan dasarnya.
وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ فَقَدْ رُوِيَ فِي فَضْلِهَا أَحَادِيثُ وَآثَارٌ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ فِيهَا فَصَلَاةُ الرَّجُلِ فِيهَا وَحْدَهُ قَدْ تَقَدَّمَهُ فِيهِ سَلَفٌ وَلَهُ فِيهِ حُجَّةٌ فَلَا يُنْكَرُ مِثْلُ هَذَا .
“Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”
وَأَمَّا الصَّلَاةُ فِيهَا جَمَاعَةً فَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ فِي الِاجْتِمَاعِ عَلَى الطَّاعَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فَإِنَّهُ نَوْعَانِ أَحَدُهُمَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ إمَّا وَاجِبٌ وَإِمَّا مُسْتَحَبٌّ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ . وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيحِ فَهَذَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا وَالْمُدَاوَمَةُ . وَالثَّانِي مَا لَيْسَ بِسُنَّةِ رَاتِبَةٍ مِثْلَ الِاجْتِمَاعِ لِصَلَاةِ تَطَوُّعٍ مِثْلَ قِيَامِ اللَّيْلِ أَوْ عَلَى قِرَاءَةِ قُرْآنٍ أَوْ ذِكْرِ اللَّهِ أَوْ دُعَاءٍ . فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ إذَا لَمْ يُتَّخَذْ عَادَةً رَاتِبَةً .
Adapun shalat di malam itu secara berjama`ah maka hal ini didasarkan atas kaedah umum tentang kebersamaan dalam keta`atan dan pelaksanaan peribadatan ada 2 macam. Pertama amalan yang termasuk "sunnah ratibah" (ketentuan syariah yang sudah biasa berjalan), ada yang wajib dan adapula yang mustahab seperti shalat 5 waktu, shalat jum`ah, shalat 2 hari raya, shalat gerhana, shalat istisqa, shalat tarawih maka semuanya ini merupakan "sunnah ratibah" (ketentuan syariah yang sudah biasa berjalan) yang sepaantasnya kita pelihara untuk dilakukan secara terus-menerus. Kedua amalan yang tidak termasuk "sunnah ratibah" seperti berkumpul bersama untuk melakukan shalat malam bejama`ah atau membaca al-Quran bersama-sama, atau dzikir dan doa bersama. Maka yang seperti ini tidaklah mengapa selama tidak dijadikan sebagai kebiasaan rutin.
Majmu’ Al Fatawa, 23/131-132
Hadits-hadits yang menjelskan keutamaan Nishfu Sya`ban BERMASALAH
PERTAMA: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). “HADITS INI MUNQOTHI`.
KEDUA: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. HADITS INI MURSAL
KETIGA: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan. HADITS DHA`if karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ibnu Lahi`ah yang banyak dinilai ulama sebagai rowi yang dha`if.
KEEMPAT: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, HADITS DHA`IF karena sadanya lemah ada rawi yang dinilai sebagai layyinu-l hadits.
KELIMA: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. HADITS INI MURSAL
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan “ HADITS INI MURSAL.
KEENAM: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” HADITS INI MATRUK
TIDAK ADA SATU PUN HADITS YANG SHAHIH YANG MENERANGKAN KEUTAMAAN NISHFU SYA`BAN
Yang ingin mengetahui lebih jauh, baca Tuhfatu-l Ahwadzi (syarah Sunan al-Turmudzi) -
ketika ada suatu amalan yang diperdebatkan statusnya antara bid`ah dan sunnah, maka tinggalkanlah (jangan dikerjakan). Karena: Jika kita melakukan dan ternyata itu bid`ah kan rugi dan bahaya, sebaliknya jika kita tinggalkan dan ternyata benar sunnah kita tidak berdosa, hanya kehilangan pahala sunnah!
Apakah dalil Malam Nishfu Sya'ban ?
( disampaikan oleh Edi , member group facebook Muhammadiyah )
Jawab :
وَسُئِلَ :
عَنْ صَلَاةِ نِصْفِ شَعْبَانَ ؟ .
فَأَجَابَ : إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ
فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ
فَهُوَ أَحْسَنُ . وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلَاةٍ
مُقَدَّرَةٍ . كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ :
{ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ } دَائِمًا . فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ
يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 100 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.” Wallohu a`lam.
وَقَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ : وَأَمَّا صَلَاةُ الرَّغَائِبِ فَلَا أَصْلَ لَهَا . بَلْ هِيَ مُحْدَثَةٌ . فَلَا تُسْتَحَبُّ لَا جَمَاعَةً وَلَا فُرَادَى . فَقَدْ ثَبَتَ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُخَصَّ لَيْلَةُ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ . أَوْ يَوْمُ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ } . وَالْأَثَرُ الَّذِي ذُكِرَ فِيهَا كَذِبٌ مَوْضُوعٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ . وَلَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةِ أَصْلًا .
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, Adapun SHALAT RAGHAIB tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan merupakan perkara baru, maka tidak dianjurkan baik dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri. Berkenaan dengan ini, hadits shahih riwayat Muslim bahwasanya Rasullullah SAW melarang mengkhushushkan shalat pada malam jum`at dan berpuasa di siang harinya. Adapun periwayatan (atsar) yang menyebutkan hal itu adalah dusta dan palsu berdasarkan kesepakatan ulama. Tidak ada yang menyebutkan salah seorang dari ulama salaf yang menyebutkan dasarnya.
وَأَمَّا لَيْلَةُ النِّصْفِ فَقَدْ رُوِيَ فِي فَضْلِهَا أَحَادِيثُ وَآثَارٌ وَنُقِلَ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ فِيهَا فَصَلَاةُ الرَّجُلِ فِيهَا وَحْدَهُ قَدْ تَقَدَّمَهُ فِيهِ سَلَفٌ وَلَهُ فِيهِ حُجَّةٌ فَلَا يُنْكَرُ مِثْلُ هَذَا .
“Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”
وَأَمَّا الصَّلَاةُ فِيهَا جَمَاعَةً فَهَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى قَاعِدَةٍ عَامَّةٍ فِي الِاجْتِمَاعِ عَلَى الطَّاعَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فَإِنَّهُ نَوْعَانِ أَحَدُهُمَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ إمَّا وَاجِبٌ وَإِمَّا مُسْتَحَبٌّ كَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ وَالْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ . وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيحِ فَهَذَا سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ يَنْبَغِي الْمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا وَالْمُدَاوَمَةُ . وَالثَّانِي مَا لَيْسَ بِسُنَّةِ رَاتِبَةٍ مِثْلَ الِاجْتِمَاعِ لِصَلَاةِ تَطَوُّعٍ مِثْلَ قِيَامِ اللَّيْلِ أَوْ عَلَى قِرَاءَةِ قُرْآنٍ أَوْ ذِكْرِ اللَّهِ أَوْ دُعَاءٍ . فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ إذَا لَمْ يُتَّخَذْ عَادَةً رَاتِبَةً .
Adapun shalat di malam itu secara berjama`ah maka hal ini didasarkan atas kaedah umum tentang kebersamaan dalam keta`atan dan pelaksanaan peribadatan ada 2 macam. Pertama amalan yang termasuk "sunnah ratibah" (ketentuan syariah yang sudah biasa berjalan), ada yang wajib dan adapula yang mustahab seperti shalat 5 waktu, shalat jum`ah, shalat 2 hari raya, shalat gerhana, shalat istisqa, shalat tarawih maka semuanya ini merupakan "sunnah ratibah" (ketentuan syariah yang sudah biasa berjalan) yang sepaantasnya kita pelihara untuk dilakukan secara terus-menerus. Kedua amalan yang tidak termasuk "sunnah ratibah" seperti berkumpul bersama untuk melakukan shalat malam bejama`ah atau membaca al-Quran bersama-sama, atau dzikir dan doa bersama. Maka yang seperti ini tidaklah mengapa selama tidak dijadikan sebagai kebiasaan rutin.
Majmu’ Al Fatawa, 23/131-132
Hadits-hadits yang menjelskan keutamaan Nishfu Sya`ban BERMASALAH
PERTAMA: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). “HADITS INI MUNQOTHI`.
KEDUA: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : ” يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ ” قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ ” أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ ” قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : ” هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. HADITS INI MURSAL
KETIGA: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan. HADITS DHA`if karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ibnu Lahi`ah yang banyak dinilai ulama sebagai rowi yang dha`if.
KEEMPAT: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ
شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ
نَفْسٍ
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, HADITS DHA`IF karena sadanya lemah ada rawi yang dinilai sebagai layyinu-l hadits.
KELIMA: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. HADITS INI MURSAL
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ
الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan “ HADITS INI MURSAL.
KEENAM: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا
وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ
إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ
فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى
فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila malam nisfu Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: “Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” HADITS INI MATRUK
TIDAK ADA SATU PUN HADITS YANG SHAHIH YANG MENERANGKAN KEUTAMAAN NISHFU SYA`BAN
Yang ingin mengetahui lebih jauh, baca Tuhfatu-l Ahwadzi (syarah Sunan al-Turmudzi) -
( باب ما جاء في ليلة النصف من شعبان )
ketika ada suatu amalan yang diperdebatkan statusnya antara bid`ah dan sunnah, maka tinggalkanlah (jangan dikerjakan). Karena: Jika kita melakukan dan ternyata itu bid`ah kan rugi dan bahaya, sebaliknya jika kita tinggalkan dan ternyata benar sunnah kita tidak berdosa, hanya kehilangan pahala sunnah!
Namun
demikian tidak perlu membid`ah-bid`ahkan orang yang mengamalkan
amalan-amalan Nishfu say`aban, karena ini masalah KHILAFIYAH. Apalagi
difatwakan sebagai SESAT.
Amalan
Nishfu sya`ban diakui oleh Syek Ibn Taymiyyah sebagai amalan salaf,
berbeda dengan Ibn Rajab yang sama-sama penganut madzhab Hanbali.
Demikian pula, al-Albani menghukumi hadits Abu Musa al-Asyari sebagai
shahih karena didukung oleh sejumlah periwayatan lain berbeda dengan Bin
Baz yang sama-sama mufti KSA - Wahabi!
Wallohu a`lam.....
*) Ustadz Dadang Syaripuddin,MA
( Wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat)
( Wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat)