Diberdayakan oleh Blogger.
ASRAMA UPTODATE
05.03
STUDI PEMIKIRAN IBN MISKAWAIH (Pendidikan Etika Dalam Perspektif Ibn Miskawaih)
Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Desember 20, 2012 | 05.03
Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, etika
merupakan salah satu satu aspek yang paling dominan. Betapa tidak, sejak
masuknya gelombang hellinisme (wave of hellenism) dalam dunia pemikiran
Islam, etika telah menjadi bagian yang tak trpisahkan dari filsafat.
Tokoh-tokoh filsafat di masa itu adalah juga dikenal sebagai tokoh-tokoh
penggagas etika, seperti pada aliran stoic (al-ruwwaqiyyah), Pythagoras,
Galenus, Plato, Socrates, dan Aristotle sendiri, bahkan tokoh-tokoh filsafat
neo-Platonisme, seperti Plotinus dan Porphirus adalah sumber-sumber penting
etika dalam Islam. Di samping itu, persoalan etika sebenarnya menyangkut cara berpikir
(mode of thought) yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living
tradition) yang mencakup beberapa faktor yang saling terkait, yang nota
bene adalah persoalan filsafat, dan bukan sebagai atuaran yang menentukan
berbagai sikap masyarakat yang menyangkut baik buruk (baca: moral), seperti
yang sementara ini dipahami.
Sungguhpun etika terkait dengan moral, tetapi
persoalan etika bukanlah sekedar moral. Moral adalah aturan normatif yang
berlaku di suatu masyarakat tertentu, yang terbatas pada ruang dan waktu, dan
inilah yang disebut dengan akhlaq dalam Islam. Dengan demikian, etika
merupakan suatu pemikiaran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran moral.
Di antara para tokoh etika Islam adalah filsuf Ibn
Miskawaih, yang dalam dunia filsafat Islam dikenal sebagai guru ketiga (al-mu’allim
al-tsalits) setelah Aristoteles dan al-Farabi, dianggap sebagai salah
seorang tokoh filsuf yang menggagas filsafat etika. Semangat dan perhatiaannya
yang begitu intens terhadap bidang ini, dimulai ketika Ibn Miskawaih menjabat
sebagai pejabat pada pemerintahan ’Adlud al-Dawlah (tahun 367-372 H.) di masa
kekuasaan Bani Buwaih (Dawlat Bani Buwaih). Masa-masa ini bagi Ibn
Miskawaih adalah masa yang dilanda dekadensi moral yang luar biasa. Karena, meskipun
puncak prestasi dan kejayaan yang dicapai oleh pemerintahan ’Adlud al-Dawlah
ini tidak dibarengi dengan ketinggian akhlaq secara umum, baik di kalangan
elite, maupun rakyat jelatah. Adalah hal yang mendorong Ibn Miskawaih
memusatkan perhatiannya pada persoalaan etika.
Untuk itu, Ibn Miskawaih menegaskan perlu adanya
usaha untuk menyelaraskan akal budi dan iman (baca: syariat). Lebih dari
itu, Miskawaih menekankan bahwa hakekat manusia adalah makhluk sosial, maka
hendaknya manusia tidak hanya memperhatikan dirinya sendiri, melainkan juga
memperhatikan orang lain.
Hal ini, bertolak dari pandangan Miskawaih tentang
etika, yang menurutnya adalah kondisi jiwa yang mendorong manusia untuk
melakukan suatu perbuatan secara spontan (tanpa pikir ataupun ragu). Dan yang
sedemikian itu tercapai manakala seseorang telah melalui tahapan-tahapan
tertentu (al-syarai’ wa al-ta`dibat), sehingga mampu melakukan perbuatan
itu secara reflek, yang kemudian dikenal dengan pendidikan (al-tarbiyah wa
al-ta`dib).
Makalah ini tidak hendak mengeksplorasi semua
pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih, melainkan sekedar menelusuri pemikiran
etika Miskawaih dari perspektif pendidikan. Untuk itu akan dikemukakan dalam
konteks ini, setting historis pemikiaran dan biografi Ibn Miskawaih
serta pokok-pokok pemikirannya dalam bidang etika terutama ditinjau dari sudut
pandang pendidikan.
Kerangka Metodologis Miskawaih
Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih
secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-Akhlaq wa
Tathhir al-A’raq. Karya inii terdiri dari tujuh bab: yang secara sistematis
dimulai dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia
dan asal usulnya; bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan
keutamaan, terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab lima,
membicarakan tentang keadilan dan menerangkannya secara mendetail tentang arti
keadilan; bab lima, membahas masalah persahabatan dan cinta; sedangkan pada dua
bab terakhir, yakni bab keenam dan ketujuh Ibn Miskawaih memberikan gambaran
beberapa hal yang berkaitan dengan penyakit jiwa berikut teknik pengobatannya.
Etika Ibn
Miskawaih memperoleh konsep dan metode pembahasannya secara eklektik dari
karya-karya filsafat Yunani, kebudayaan Persia, doktrin syariat Islam, dan
pengalaman pribadi. Para filsuf Yunani yang sangat besar pengaruhnya terhadap
pemikiran etika Ibn Miskawaih adalah Plato, Aristotle, Zeno, Galenus, dan
beberapa tokoh filsuf etika lainnya. Usaha Miskawaih, sebagaimana para filsuf
muslim lainnya, adalah memadukan antara teori-teori filsafat dengaan
pandangan-pandangannya sebagai seorang muslim. Namun begitu, nuansa pemikiran
etika Miskawaih, terutama dalam Tahdzib al-Akhlaq sangat kental dengan trend
pemikiran Aristotle.
Kalau karya monumental Miskawaih Tahdzib al-Akhlaq
sebagai dasar-dasar teoritis pemikiran etika, maka karyanya Tajarib al-Umam
wa Ta’aqub al-Himam memberikan contoh-contoh kongkrit dari teori yang dia
bangun, di mana Miskawaih menulisnya di masa-masa akhir penulisan
karya-karyanya. Lebih dari itu, tatkala buku Tahdzib al-Akhlaq membahas
persoalan etika secara teoritis, maka bukunya yang lain al-Hikmah
al-Khalidah menelaah delik-delik etika pada tataran praksis, adalah hal
yang menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu Miskawaih, dan betapa besar
perhatian dan kepeduliannya terhadap persoalan etika dan khazanah pemikiran
klasik, sehingga wajar jika dijulki sebagai bapak etika Islam.
Labels:
KOLOM OPINI
14.01
Nama lengkapnya
Abu ’Ali al-Khazin Ahmad ibn Ya’qub ibn Miskawaih, adalah seorang filsuf
muslim yang dianggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di
samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang
memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya
Miskawaih adalah juga seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa. Lebih dikenal
dengan nama Miskawaih atau Ibn Miskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya
yang semula beragama Majusi (Persia) yang kemudian masuk Islam. Julukannya
adalah Abu ’Ali, yang yang merujuk kepada sahabat ’Ali ibn Abi Tholib, di
samping juga bergelar al-Khazin yang berarti bendaharawan, karena
jabatannya sebagai bendaharawan (baca: mentri keuangan) pada masa
kekuasaan ’Adlud al-Dawlah dari Bani Buwaih (al-dawlah al-buwaihiyyah).
Biografi Ibn Miskawaih dan Pemikirannya
Written By pa-ponpes-muhammadiyah-madiun on Desember 02, 2012 | 14.01
Ibn Miskawaih |
Ibn
Miskawaih dilahirkan di Ray (Teheran Iran, sekarang). Para penulis
sejarah berselisih pendapat tentang tanggal kelahirannya. Namun pendapat yang lebih kuat mengatakan
Miskawaih lahir pada tahun 330 H/942 M, dan meninggal dunia pada tanggal 9
Shafar 421H/16 Pebruari 1030 M.
Sebagaimana
para peminat ketenaran dan kehidupan yang layak, Miskawaih hijrah ke Baghdad,
yang kemudian membawanya mengabdi kepada al-Mahalbi al-Hasan bin Muhammad
al-Azdi seoarang menteri pada Mu’izz al-Dawlah bin Buwaih tahun 348 H. sebagai
sekretaris pribadinya. Sepeninggal menteri al-Mahallabi, Miskawaih kembali ke
Ray yang kemudian mengabdi pada menteri Ibn al-’Amid sebagai kepala
perpustakaan sekaligus sekretaris pribadinya, dan terus berlangsung sampai sang
menteri wafat tahun 360 H.
Namun, petaka menghampirinya
sepeninggal sang menteri Ibn al-’Amid. Putranya yang juga seorang mentri
bernama Abu al-Fath ’Ali ibn Muhammad
ibn al-’Amid memenjarakannya tahun 366 H., sampai keberuntungan membawanya
bertemu dengan menteri ’Adlud al-Dawlah ibn Buwaih, yang menjadikannya kepala
perpustakaan dan sekaligus sekretaris pribadinya. Kariernya terus menanjak dari
satu menteri ke menteri lain, dan kepada beberapa pangeran serta keluarga raja
di lingkungan pemerintahan Bani Buwaih, sampai meninggal dunia tahun 421 H. di
Asfahan.
Ibn Miskawaih belajar sejarah,
terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qadli
(350 H./960), dan memperdalam filsafat pada Ibn al-Khammar, seorang tokoh
kenamaan yang dianggap cukup menguasai karya-karya Aristotle. Ilmu-ilmu kimia
Miskawaih dapatkan dari gurunya seorang ahli di bidang kimia Abu al-Thayyib
al-Razi.
Ibn Miskawaih selama lebih
dari tujuh tahun sebagai seorang pustakawan, yakni di saat mengabdi pada Abu
al-Fadl ibn al-’Amid dan putranya Abu al-fath, untuk selanjutnya sebelum
memfokuskan diri pada kerja-kerja intelektualnya, Miskawaih berkiprah dalam
kabinet Ahmad ibn Buwaih (amir al-umara`: kepala pangeran) sebagai
bendaharawan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan,
Ibn Miskawaih adalah sosok yang aktif. Tulisan-tulisannya dan
informasi-informasi tentang dirinya dalam berbagai referensi menjadi saksi
tentang keluasan ilmu pengetahuannya dan kebesaan kultur di masanya. Namun
karakter utama (meanstreem) keilmuannya adalah dalam bidang sejarah dan
etika. Pada bidang sejarah, lahir sebuah karya penting Tajarib al-Umam wa
Ta’aqub al-Himam, sebuah karya sejarah universal. Dan dalam bidang etika,
karya yang paling monumental adalah Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq.
Selain dua bidang tersebut,
Ibn Miskawaih memiliki belbagai perhatian. Pada waktu-waktu tertentu dia
berkesempatan mempelajari kimia pada seorang arif dan ahli di bidangnya
al-Qifthi, serta dalam bidang kedokteran Miskawaih berguru kepada seorang pakar
biografi para dokter Ibn Abi ’Ushaybi’ah (w. 668 H/1270 M.).
Puncak kemegahan pemerintahan
bani buwaih adalah pada masa ’Adlud al-Dawlah yang berkuasa tahun 367-372 H.
Dialah penguasa Islam yang mula-mula menggunakan gelar Syahinsyah (maha raja),
adalah gelar yang digunakan raja-raja Persia kuno. Kecuali prestasinya di
bidang politik, perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan kesusasteraan amat
besar. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan ’Alud al-Dawlah, dan pada masa inilah Miskawaih terkenal sebagai seorang filsuf, tabib, ilmuan, dan sastrawan.
Tetapi, keberhasilan Bani
Buwaih dalam bilang politik dan kemajuan ilmu pengetahuan di masa itu tidak
dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan terjadi kemerosotan akhlak secara
umum, baik di kalangan elite, maupun rakyat awam kebanyakan. Adalah hal yang
menyebabkan Miskawaih memusatkan perhatiannya pada etika Islam, yang membawanya
dijuluki sebagai bapak etika Islam sekaligus guru ketiga (al-mu’allim al-tsalits).
Adapun karya-karya Ibn
Miskawaih yang lain, diantaranya: al-Fawz al-’Akbar; al-Fawz al-Ashghar (tentang
metafisika: ketuhanan, jiwa, dan kenabian); Tartib al-Sa’adah (tentang
etika dan politik); Kitab Adab al-’Arab wa al-’Ajam (tentang etika); al-Hikmah
al-Khalidah (tentang etika praksis) Maqalat fi al-Nafs wa al-’Aql
(tentang jiwa dan akal); Risalah fi al-’Adalah (tentang keadilan); al-Mustawfi
(tentang sastra); al-Jami’; al-Asyribah; al-Adwiyah (tentang
kedokteran), dll.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. 1966. Studi Agama: Normatifitas dan Historisitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------. 1995. Falsafah Kalam di Era Posmodernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Al-‘Alawi, Faris Ahmad. 1998. “Nazhariyyat al-Hikmat al-Khalidah fi
Falsafat Miskawaih” dalam Al-Ma’rifah. Jurnal Kebudayaan, edisi 406,
Juli. Damaskus: Kementerian Kebudayaan Republik Arab Syria.
De Boer, T.J. tt. Tarikh al-Falsafah fi al-Islam. terjemah Muhd. Abd
al-Hadi Abu Ridah. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah.
Basyir, Ahmad Azhar. M.A., K.H. 1994. Refleksi atas Persoalan
Keislaman: Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi. Bandung: Mizan.
-------. 1983. Miskawaih: Riwayat Hudup dan Pemikiran Filsafatnya, (Yogyakarta:
Nur Cahaya.
Ibn Miskawaih. 1988. Tahdhib Al-Akhlak. terjemahan Helmi Hidayat. Bandung: Mizan.
Tim Penulis. 1993. Encyclopedia
of Islam. (New Edition), vol. VII. Leiden: E.J. Brill.
Tim Penyusun. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru
Van Hoeve.
‘Izzat, ‘Abd al-‘Aziz. 1946. Miskawaih: Falsafatuhu al-Akhlaqiyyah wa
Mashadiruha. Kairo: Mathba’ah Mushtafa Babi al-Halabi wa Awladuhu.
Musa, Muhammad Yusuf. 1963. Falsafah al-Akhlaq fi al-Islam wa Shlilatuha
bi al-Falsafah al-Ighriqiyyah. Kairo:
Muassasat al-Khanji.
Nasr, Sayyed Hossein (ed.).
1966. History of Islamic Philosophy. New York: Routledge.
Rajab, Manshur ’Ali. 1961. Taammulat
fi Falsafat al-Akhlaq. Kairo: Maktabat al-Anglo al-Mishriyyah.
Sharif, M.M. (ed.). 1963. A History of Muslim Philosophy.
Otto: Harrasowitz.
Labels:
Artikel,
News artikel